fuyuhanacherry

i talk a lot in silence

once upon a time #3 #taeten #jnt #au #fanfiction


kafe bercat abu-abu itu berjarak tak lebih dari 3km dari rumah ten. sebenarnya dia bukan pelanggan di sana, hanya saja karena dalam perjalanan ke rumah sore itu gerimis, dia terpaksa melipir ke sembarang tempat terdekat yang ditemui untuk berteduh.

hari ini secara tidak biasa langit menurunkan hujan. padahal baru kemarin laki-laki itu mengeluhkan panas matahari yang begitu menyengat. mungkin ini pertanda bahwa musim kemarau telah usai, pikirnya. patut disyukuri, namun tetap memicu keluhan dari pemuda yang tidak siap menghadapi hujan tak terencana itu. tidak ada jas hujan di jok motor—dia bahkan sudah lupa di mana menyimpannya saking lamanya tak terpakai. tapi sudahlah, baginya tidak masalah untuk sesekali mampir ke kafe seorang diri. sebab biasanya dia hanya pergi ke kafe jika johnny suh mengajaknya nongkrong, atau saat mantan kekasihnya minta ditemani mengerjakan tugas di sana.

oh, tentu saja. orang sepopuler chittapon sudah khatam dalam berbagai jenis hubungan asmara. mau laki-laki, perempuan, semuanya pernah ia jamah. tentu johnny suh bukanlah salah satunya—laki-laki itu hanya teman setia yang telah membersamainya sejak kecil, karena rumahnya yang bersebelahan dan tak pernah berpindah.

saking seringnya mereka bersama, tak jarang mantan-mantan ten menunjukkan kecemburuan mereka. barangkali hubungan mereka memang cukup berlebihan, saling menginap di rumah satu sama lain sudah menjadi kebiasaan yang mereka anggap maklum. tapi tidak dengan mantan-mantan kekasih ten itu.

ten memesan segelas americano, sekadar untuk mengisi kekosongan saat menunggu hujan reda. hitung-hitung untuk membandingkan dengan produk kafe langganannya di lain tempat. pesanannya datang tak sampai sepuluh menit sejak ia memesannya. seorang perempuan dengan apron army mengantarnya dengan menambah bonus; seutas senyum. “selamat menikmati.”

laki-laki itu hanya membalas dengan anggukan—juga barter senyum, seakan akan sedang beradu siapa yang senyumannya paling manis di antara mereka berdua. pelayan sudah kembali ke tempatnya. ten memandang gelas americano di depannya, kemudian mengaduknya dengan sendok kecil yang disediakan.

“anu ....”

dari belakang, terdengar suara seseorang yang terasa tak asing bagi ten. seketika ditengoknya arah sumber suara tersebut, dan terkejutlah ia.

“lho, kau yang mengantar paket itu 'kan?”

laki-laki yang berdiri satu meter di belakang kursinya mengangguk. “tidak disangka kita bertemu di sini.”

penampilan laki-laki tersebut agak berbeda dengan yang biasa ten temui ketika sedang mengantar paket ke rumah. tentu saja, saat ini si pengantar paket ini sudah tidak sedang berperan sebagai pengantar paket—melainkan seperti pemuda seumurannya.

“kau sendirian? boleh aku duduk di sini?”

“tentu saja. aku tadi juga tidak sengaja mampir karena gerimis.”

“i see ....” laki-laki dengan jaket jeans itu mendudukkan diri di kursi. “sebenarnya aku sedang menunggu temanku. tapi sepertinya masih lama. barusan dia mengabari kalau ada barangnya yang ketinggalan.”

“oh, apakah teman kerja?”

“kuliah. mengantar paket hanya pekerjaan sampingan, jadi aku tak begitu dekat dengan rekan-rekan kerjaku.”

“begitu, ya ....” ten menyeruput americano panasnya, kemudian melanjutkan obrolan. “kuliah di mana?”

“universitas permadani. jurusan ilmu komunikasi.”

“aku punya teman di sana! tapi aku tidak yakin satu jurusan denganmu atau tidak.”

“permisi. ini pesanannya.” si pemilik suara dengan hati-hati menaruh segelas minuman kecoklatan ke atas meja, lengkap dengan dudukan gelasnya. “selamat menikmati.”

obrolan mereka terdistraksi sebentar oleh segelas latte yang diantar oleh pelayan. setelah pelayan itu lewat, obrolan pun berlanjut.

mereka mengobrol seakan akan sudah kenal dekat sebelumnya—ya, walau ini bukan kali pertama mereka bertemu, tapi untuk bisa mengobrol seintens itu merupakan kali pertama bagi mereka. rasanya suasananya seperti bertemu dengan teman lama, batin ten.

segelas americano sudah lenyap, diikuti dengan rintik hujan yang kian meredup, sampai akhirnya langit benar-benar tak meneteskan apapun lagi.

“hujannya sudah reda. kau tidak pulang?”

“benar juga.” ten menengok ke arah jendela kaca di sampingnya yang menampakkan pemandangan jalan raya basah sehabis diguyur hujan selama kurang lebih satu jam. “kalau begitu aku pergi dulu, ya.”

“oh maaf, boleh aku minta nomormu?” kalimat itu terdengar seperti rayuan orang yang sedang ingin mendekati incarannya, menurut ten, yang terlalu percaya diri. “barangkali aku butuh, paketmu selalu datang tiap minggu.”

ten yang sudah berdiri dari kursinya duduk kembali. “08136824256.”

laki-laki di depannya mengetik dengan ponselnya, kemudian tersenyum. “terima kasih.”

ten berlalu melewati pintu masuk kafe, dan di saat itu pula seorang wanita berambut panjang dengan hoodie merah muda masuk berlawanan arah dari arah kepergiannya.

wanita itu kemudian tersenyum setelah mendapati sosok yang dicarinya sudah duduk di salah satu meja kafe. “lee taeyong~”

laki-laki yang dipanggil namanya itu menoleh. “ah, kau sudah sampai rupanya.”

tak lama kemudian laki-laki yang baru saja keluar kembali masuk ke dalam kafe, wajahnya terlihat waswas, seperti telah kehilangan sesuatu.

“charger handphoneku ... aku lupa mengambilnya.”

sebelum mencabut charger handphone nya dari stop kontak di dekat mejanya tadi, ten menatap laki-laki dan perempuan yang kini menduduki kursi yang ia tempati sebelumnya.

“maaf mengganggu kalian. permisi.”

ten kembali keluar dengan langkah gusar. banyak pertanyaan yang mengisi pikirannya—yang sebenarnya tidak begitu perlu untuk ia pikirkan. tetapi mengingat si pengantar paket itu tidak berkata apapun ketika dia datang, dia cukup tersinggung. serasa seperti orang asing yang baru saja merusak kencan sepasang kekasih yang harmonis.

seharusnya dia tak perlu tahu siapa perempuan itu, tapi hati kecilnya cukup gelisah. dan dia harap selanjutnya dia tidak pernah bertemu dengan si pengantar paket lagi.

pangkas #taeten #drabble


“Mungkin pertanyaan ini agak menggelikan,” Haechan menjeda ucapannya. Terlihat raut wajah penasaran dari Taeyong maupun Ten, sebagai dua sosok yang sedang diinterograsi sore itu.

“Seberapa berarti pasangan kalian?”

“A-hahahah…”

Haechan tidak salah, pertanyaan itu memang sedikit menggelikan. Baik Taeyong maupun Ten merasa canggung, dapat terlihat dari tawa yang mereka tunjukkan.

“Dia membuatku merasa … nyaman.”

Taeyong yang tak menyangka dengan jawaban laki-laki yang disebut sebagai ‘pasangan’nya itu terkesiap. Antara terkejut dan tidak, sih. Lagipula, Ten tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaan itu dengan hal yang sebenar-benarnya di depan kamera. Video ini pasti akan beredar di internet, memberi teguk pada para penggemar yang menunggunya. Tapi, tak semua akan mentolerir sesuatu yang mentah—apa adanya. Maka dari itu, mereka harus memilih jawaban senetral mungkin.

Karena sebenarnya, semuanya tak sesederhana rasa ‘nyaman’ yang terucap dari bibir Ten.

Jika pertanyaan ini bukan digagas untuk kepentingan konten semata, Taeyong mungkin akan menjawab: Ten adalah bahagia dan kesedihan; obat dan luka; tawa dan tangis; dan segala pasangan lawan kata lainnya. Baginya, cinta memang seperti itu—berjalan dua arah, beriringan. Tidak hanya berisi hal-hal baik atau hal-hal buruk saja. Semuanya berbagi paruh.

Dan Taeyong telah menerima semuanya; kedua sisi berlawanan itu.

Tapi, mana mungkin ia akan menjawab dengan hal sekompleks itu hanya untuk konten yang tak semua penontonnya peduli pada perasaannya, ‘kan? Selain itu, privasi akan perasaannya itu cukup mahal. Kerap kali keelitisannya ini membuat oranglain salah paham, padahal dia hanya sedang menghindari rasa sakit; menyelamatkan perasaannya.

“Kalau aku ... aku sangat bersyukur bisa menjadi rekan kerjanya.”

Ten terdiam, namun ia masih menyempatkan semburat senyum di wajahnya yang licin. Kecewa? Mungkin. Tapi dia memaklumi. Kejadian seperti ini sudah bukan menjadi sumber masalah atau keterkejutan bagi mereka. Memang sudah seharusnya begitu—menjaga semuanya tetap aman.

Paling-paling, setelah sandiwara ini selesai, mereka akan pergi berkencan sampai pagi, sampai mereka lupa bahwa bumi ini bukan hanya milik mereka berdua saja.

once upon a time #2 #taeten #jnt #au


taeyong menunggu si empu rumah di depan gerbang, persis seperti yang ia lakukan minggu lalu untuk tujuan yang sama—mengantar paket atas nama chittapon leechaiyapornkul. tak lama setelah ia menekan bel untuk kali kedua, seseorang menemani penantiannya. laki-laki dengan tubuh tinggi menjulang, postur tubuh yang bisa dikategorikan 'bongsor', mengenakan jaket basball hitam dengan dalaman kaos putih polos, dan topi yang dipasang di kepala dengan arah moncong terbalik. mata mereka kemudian bertemu, tak lama setelah laki-laki itu menghentikan langkah, menyisakan jarak sekitar satu meter di sebelahnya.

“siang.”

“ah, siang.”

“dari jasa antar paket, ya? mau aku titipkan sekalian saja?”

“tidak perlu, soalnya saya butuh tanda tangan penerima.”

“aku bisa mengimitasi tanda tangan ten, loh.”

ten? apakah nama panggilan orang bernama asing (dan rumit) itu sesederhana susunan dari tiga huruf itu; atau angka sepuluh dalam bahasa inggris? atau itu panggilan khusus bagi laki-laki ini saja?

berbagai pertanyaan mengisi ruang pikiran taeyong. namun ia hanya bisa membiarkan rasa penasaran itu berputar di kepala sampai meluap dengan sendirinya tanpa mendapat jawaban.

lalu, kata laki-laki ini ia bisa mengimitasi tandatangannya? sedekat itu kah dia dengan si pemilik rumah?

jangan-jangan, dia kekasihnya? entahlah, seharusnya taeyong tidak perlu mengurusi hal-hal semacam ini. toh, dia hanya seorang kurir yang numpang lewat sebentar dalam alur hidup mereka ini.

“wah, terima kasih. tapi lebih baik saya menunggu saja.”

“baiklah~”

belum lama setelah mereka merampungkan perbincangan singkat itu, si pemilik rumah muncul dari balik gerbang. kali ini dia menggunakan hoodie ungu dan celana jeans. senyuman hangatnya seketika mengalihkan perhatian taeyong, membuatnya lupa akan tujuannya ke mari, untuk beberapa saat.

senyuman itu selayaknya matahari di kutub; barangkali mencairkan kebekuan yang sempat dirasakan sosok yang telah menunggu kedatangannya itu. bagi taeyong, pemandangan semacam ini layak untuk diabadikan, disimpan di kotak memorinya yang paling dalam—ia tidak ingin seorang pun menyadari hal itu.

dia terpesona pada orang yang bahkan tidak bisa ia sebutkan nama lengkapnya.

“maaf lama, aku baru saja selesai mandi,” ucap ten, bergantian menatap dua orang yang telah menunggunya. “wah, kau lagi.” kali ini, ia menaruh perhatiannya pada si pria berseragam serba jingga yang pernah ia temui seminggu lalu.

“benar. saya kembali.” kali ini taeyong yang tersenyum. “tolong tandatangan di sini.”

ten menerima selembar kertas, menuliskan sesuatu di sana dengan pena sambil bergumam, “senang melihatmu lagi.”

sepertinya, dunia seketika melupakan eksistensi dari si pria jangkung yang saat ini tengah memperhatikan dua orang tersebut dengan perasaan kosong. dunia ini entah kenapa—untuk beberapa kali detak jantung taeyong—memberi ruang bagi mereka berdua saja. walau momen itu sangat tidak penting, bahkan sepertinya tidak pantas diukir di atas data riwayat hidup.

tapi terlalu muluk-muluk jika taeyong mengharap lebih dari ini, bukan?

“terima kasih. kalau begitu, saya pamit.”

“hati-hati di jalan~”

taeyong membungkuk, memberi salam undur diri. dalam hitungan menit, punggungnya beserta kendaraan roda dua yang ditumpanginya sudah lenyap dari pandangan dua orang yang ditinggalkannya di tempat itu.

ten tak berucap apa-apa saat ia mulai memasuki halaman rumahnya. dia membiarkan johnny mengikuti langkahnya tanpa bertingkah macam-macam, seperti sedang terfokus pada suatu hal yang tidak ada hubungannya dengan sahabat masa kecilnya itu. dan bagi johnny suh—laki-laki yang sedari tadi seperti figuran dalam peristiwa sebelumnya—ini aneh.

johnny mengenal betul laki-laki itu sedari kecil. mereka bertetangga sudah puluhan tahun lamanya. dan dia menyadari penuh bahwa ada yang berbeda dari sosok ten yang ia kenal, hari ini. ia sadar bahwa ada sesuatu yang ten sembunyikan, dan mungkin berhubungan dengan laki-laki pengantar paket itu; johnny mulai meraba-raba apa yang sekiranya tengah terjadi dalam angannya.

“kau tampak senang. paket dari siapa memangnya?” johnny akhirnya membuka obrolan setelah mereka sampai di ruang tamu.

“dari adikku. tapi bukan karena itu, kok.”

mendengar jawaban itu, johnny memilih menahan dirinya untuk bertanya lebih lanjut.

sahabatnya ini sedang jatuh cinta, rupanya?

once upon a time #1 #taeten #jjnt #au


taeyong mengamati bangunan bercat putih di depannya, mencari-cari simbol yang menjadi tanda identitas bangunan tersebut demi memastikan apakah ia tengah berada di tempat yang tepat atau tidak. seharusnya, rumah tersebut memiliki nomor '10-F' jika dihitung dari rumah-rumah yang ia lewati sebelumnya. dan beruntungnya taeyong tidak salah menduga; ditemukanlah tulisan dengan nomor tersebut di dinding sebelah barat yang terhubung dengan pagar baja setinggi dua meter.

usai memastikan, ia langsung menekan tombol bel yang tak jauh dari tanda nomor rumah tersebut. sekali saja tidak mempan, seperti rumah-rumah yang ia kunjungi sebelumnya. ia pun menekannya lagi, sampai untuk kali ketiga, terdengarlah suara kaki menapak tanah, yang lama-lama semakin teraih oleh daun telinga. dan terbukalah pagar hitam itu, menyambut penampakan dari (yang taeyong duga) si pemilik rumah.

laki-laki dengan tinggi badan yang lebih pendek beberapa senti dari taeyong, mengenakan kaos ungu pastel dan celana navy selutut—ia menyipitkan matanya kala terpapar sinar matahari yang menembus pembatas antara jalanan dengan rumahnya, yang tak bisa dianggap sederhana bagi orang biasa—apalagi taeyong.

“maaf lama, tadi sedang tidur.”

“ah, maaf telah mengganggu tidur anda.”

“tak masalah.”

“dengan ... chitta...chit-ta-pon lee....”

“ahahaha cukup, cukup, iya itu aku.”

“maaf, saya tak terbiasa membaca nama asing.” taeyong tampak tersipu dengan perbuatannya barusan. “silakan tanda tangan di sini.”

laki-laki itu pun menandatangani selembar kertas yang disajikan kepadanya, kemudian menerima paket yang berbentuk balok dari tangan sang kurir.

“sepertinya, kau kurir baru, ya?”

taeyong sudah bersiap untuk melangkah menuju titik ia memarkirkan sepeda motornya, namun laki-laki di hadapannya memberinya sedikit bahan obrolan sebelum ia sempat merealisasikan niatnya tersebut.

“benar. kelihatan sekali, ya?”

“aku sering menerima kiriman paket dari jnt, dan aku baru pertama kali melihatmu.”

“sesering itu sampai hafal?”

“iya, aku suka berbelanja online.”

obrolan ini cukup ngelantur, batin taeyong. apakah memang sudah menjadi hal yang normal para penerima paket membicarakan urusan-urusan pribadinya dengan kurir? apa memang kebiasaan si chittapon-apalah ini saja?

“kalau begitu, saya pamit dulu.”

“ah iya, masih banyak paket yang harus kauantar, ya? semangat.”

taeyong hanya membalas kata-kata tersebut dengan senyum canggungnya. ya ... bagaimana tidak canggung, selama satu minggu ia bekerja menjadi pengantar paket, baru kali ini dia diberi ucapan semangat dari penerima paket. demi tuhan, baginya ini adalah sesuatu yang tidak biasa.

setelah menaiki motornya dan memakai helm, taeyong berlalu, melaju ke arah yang berlawanan dari arahnya datang. dan sosok chittapon leechaiyapornkul itu masih berdiri di depan gerbang rumahnya, masih memegang paket yang baru saja ia terima dari seseorang yang telah menarik perhatiannya.

keluh kesah kelas pagi #halu #tenfuy #morningclass


“Jangan brengsek-brengsek napa sih jadi orang. ARRRRRRGHHH KENAPA HARI INI SEMUA ORANG BIKIN GUE EMOSI DOANG DAH.”

Dari rangkaian kata-katanya, Ten tahu betul bahwa perempuan yang sedang misuh-misuh di hadapannya ini sedang mengalami sindrom bulanannya cewek, aka PMS. Walau misuh-misuh adalah senjata gadis itu sehari-hari, tetap saja keliatan mana kondisi normalnya dan mana kondisi dia dikendalikan hormon menstruasi yang membuatnya jadi lebih sensitive dari biasanya.

Pernah suatu ketika Ten kena siram es teh di burjo saat gadis itu sedang dalam masa PMS nya. Saat itu emang parah, sih. rasanya dia ingin siram balik pakai kopi panas yang sedang diminumnya tapi dia masih waras, dan ingat bahwa perempuan itu sedang kurang sehat secara jiwa raga.

Kali ini lagi-lagi Ulya menunjukkan kesensitifannya. CUMA GARA-GARA TEN GASENGAJA NEPOK PUNDAH DIA DARI BELAKANG PAS GASENGAJA PAPASAN DI KANTIN FAKULTAS. Gila, cewek emang monster.

“Jangan teriak-teriak napa, diliatin orang.”

“Bodo!”

“Ya udah gue traktir minum sini, asal lo berenti berisik.”

“Mau jus mangga.”

Dalam situasi apapun, anak kos tetaplah anak kos dengan jiwa miskin yang mendarah daging. Ten sebenernya agak kesel—kesel banget, malah. Seakan-akan cewe punya hak untuk memorotin duitnya dengan alasan PMS.

Mereka berdua akhirnya memilih tempat duduk di ujung kantin yang beberapa menit sebelumnya ditinggalkan pengunjung lain. Ulya memainkan handphonenya, begitu pula dengan Ten. Keduanya sama-sama menunggu pesanan mereka datang dengan saling terdiam, sampai akhirnya Ten memberanikan diri membuka obrolan.

“Lo ada kelas jam berapa?”

“Kepo.”

“Eh anjing gue tanya bener-bener malah nyolot gue getok lu ye!”

“LAGIAN KENAPA SIH ORANG KELAS GUE DAH SELESE.”

“YA TINGGAL JAWAB GITU NAPA DAH PAKE KEPA KEPO.”

Kemudian hening. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan emosi yang membara di benak masing-masing. Sampai pada akhirnya ibu kantin mematahkan perang menatap mereka, meletakan segelas jus mangga dan nescafe panas di meja mereka.

“Gue mau curhat.”

Emang random banget ni orang, batin Ten. Tapi mau gamau dia harus mendengarkan celotehan si pencurhat bila ingin pulang dengan selamat.

“Tadi gue males banget, masa diketawain anak-anak kelas gara-gara gue ngucap huruf 'b' nya aneh!!”

“Lah kok bisa.”

“Tadi kan gue penilaian praktek MC.”

Ten terkikik. Ternyata hanya masalah sepele seperti ini yang sedang mempengaruhi emosi perempuan itu? Kekanak-kanakan sekali.

Laki-laki itu kemudian menepuk pucuk kepala si perempuan, mengusapnya pelan, mencoba menenangkan. “Gapapa, gausah dipikirin,” ucapnya seraya melepaskan kepala gadis yang masi membatu, menatapnya tajam. “Lo gabisa ngomong 'i love you' aja selama ini gue gapernah komplain, tuh.”

“Diem.”

Ten kembali terkikik, kali ini lebih keras sampai matanya menyipit, mengumbar identitas rasnya. “Lagian gitu doang, sih. Kirain lo abis dirampok apa diamuk dosen.”

“Ngga gitu doang! Kan gue jadi ga pede kalo mau ngomong!”

“Yaudah, sekarang gausah ngomong sama mereka. Ngomongnya sama gue aja.”

Ulya menendang kaki yang ada di seberang dengan kesal. “Lo tuh bisa ngehibur orang gak, sih.”

“Jadi pacar gue dulu baru gue hibur.”

Bisa dipastikan Ulya frustasi menghadapi perbincangan yang selalu saja menyebalkan dengan si lawan bicara tersebut. Ia lalu beranjak dari kursinya tanpa berpamitan, meninggalkan segelas jus mangga yang masih sisa setengah. Dan Ten tidak merasa bersalah sama sekali.

bincang-bincang platonis #halu #tenfuy #platonis


Tidak ada hujan tidak ada badai, pada suatu hari di pertengahan minggu, ketika perkuliahan sedang hectic-hecticnya, Ulya meminta Ten menemuinya di pendopo fakultas. Padahal tidak biasanya ia bertemu dengan lelaki beretnis cina itu di kampus, kali ini entah kenapa, Ten sampai bersuudzon kalau perempuan itu habis diajak minum-minum panas sama mas-mas dari UKMnya—yang tentu saja tidak benar.

“Apaan sih lebay! Walo gue penasaran sama rasanya tapi kagak lah.”

“Ya trus kenapa lo tiba-tiba manggil gue?”

Gadis itu kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah surat yang sudah dibalut amplop ungu. “Nih, buat kamu.”

“Hm, tiba-tiba jadi aku-kamu, ada apaan, neh.” Ten menerima surat tersebut sambil bergumam. “Boleh dibuka sekarang?”

“Mending jangan.”

“Malu ye lu! Lu confess ke gue apa gimana ni isinya—”

“Bukan gue, lah! Ngarep amat, luh.” Ulya memasang gimik geli. “Dari temen gue. Dan gue mana tau isinya apaan. Karna gue gaperlu tau, jadi bacanya jangan di depan gue, lah.”

“Anzirrrr masih jaman ya pake surat-suratan gini.”

Perempuan yang ada di depannya tak menjawab. Sampai akhirnya keduanya terdiam bersama, memandangi pemandangan taman fakultas di sebrang mereka.

“Sekarang kok jadi panas banget, ya.”

“Gausah cemburu gitu, dong.”

Sebuah tabokan meluncur ke punggung si lelaki, yang sudah bukan merupakan hal yang asing lagi bagi keduanya.

“Panas beneran iklimnya! Susah banget sih ngomong sama lu heran gua!”

“Ya gimana dong gue kan cuma mengekspresikan perasaan.”

Ulya menatap laki-laki yang duduk di sampingnya dengan tatapan heran, kemudian memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Ten, lu naksir gue, ya?”

Pertanyaan itu tak lekas mendapat jawaban dari si penerima pertanyaan, tampaknya dia mengerutkan dahi sedikit sambil balik menatap orang di sampingnya.

“Tau, dah.” Akhirnya lelaki itu menjawab, kemudian melanjutkan, “Kenapa, sih? Aneh banget lo mikirnya.”

“Elu yang suka ngomong aneh-aneh! Gue ga baper sih cuma kalo dipikir-pikir lo gitu amat kalo ngomong kayak pas insiden gelang di sunmor itu.” Ulya berbicara panjang lebar. “Sekarang coba gue tanya, kalo gue jadian sama kak Johnny, lo marah, gak?”

“Gausah halu.”

“Yaudah kalo gue nembak kak Johnny, lo sedih, gak?”

“Sedih, lah.”

“Kan!”

“Gue kan suka sama Johnny.”

Twist yang begitu bangsat.

Sebangsat orang yang ngomong, batin Ulya.

“Kok gue gatau kalo lo bi ....”

“Percaya aja lo.”

“HIH! JAWAB YANG BENER DONG!”

“Kan gue bilang gatau, kalo belom kejadian.”

Ulya menghela nafas, sudah merasa jenuh dengan pembicaraan yang semakin tidak jelas arahnya ini.

“Tapi kalo lo bikin surat cinta kek gini bakal gue terima dengan senang hati, sih.”

“Jangan ngarep.”

“Oh kalo pertanyaannya dibalik gimana? Kalo isi surat ini temen lo nembak gue terus gue terima, lo bakal sedih?”

“Ya iya, lah.”

Ten sebenarnya tidak punya ekspektasi akan jawaban dari gadis itu yang keluar dari mulutnya seenak jidat, berbeda dengannya yang masih mikir-mikir.

“Karna dia temen gue, lo juga temen gue, gue harus jauh-jauh dari kalian, dong?”

“Yaudah sekarang kita aja yang pacaran ribet amat, sih.”

“Lo beneran naksir gue, ya?”

“IYA DAH IYA! SELAMAT ANDA BERHASIL MEMANCING AINK!”

Ulya memberi jeda sebentar sebelum akhirnya membalas, “Gue tuh gabisa bedain mana becandaan mana beneran.”

“Gapapa, orang gue juga gabisa bedain apalagi lo.”

Perbincangan aneh mereka berakhir setelah kalimat yang dilontarkan laki-laki itu dilanjutkan lagi olehnya, “Gue pergi ya, masih ada kelas jam tiga.”

“Oke.”

“Kalo kangen chat aja, say.”

Kepala Ulya merasa butuh asupan penenang, kalimat-kalimat yang diucapkan orang itu, tuh, kenapa sih selalu engga sinkron satu sama lainnya?

sunday morning #halu #tenfuy #sunmor


Kali ini nggak seperti biasanya, pertemuan dua karakter utama itu tidak direncanakan alias kebetulan saja takdir mempertemukan mereka—lagi—nggak bosen-bosen.

Saat itu hari minggu, deket kos Ulya ada sunday morning; pasar murah meriah yang terkenal selalu ramai tiap minggunya. Sebagai mahasiswi gabut, mau nggak mau ia menghabiskan waktunya untuk berkunjung ke sana dalam rangka mencari udara segar—walau sebenarnya panas juga, sih. Beda kasusnya sama Ten yang nggak biasanya ke sunmor—kali ini dia bersama dengan temannya.

“Lah kok lu ke sini!” Ulya langsung menyapa sosok yang ia kenal itu sambil kemudian menyingkirkan diri dari barisan para pejalan kaki, agar tidak menghalangi orang yang akan lewat, yang kemudian diikuti dengan kedua lelaki yang ia ajak berbincang.

“Suka-suka gue lah emang pasar ini punya lu.” Tanggapan dari salah satu lelaki memancing kelanjutan dari obrolan mereka.

“Ke sini cari apaan?”

“Cari gebetan.”

“Geloooo.”

“Nih, kenalin temen gue, namanya Kun.” Ten menepuk pundak seseorang yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum dengan sangat manis, sampai rasanya Ulya ingin Ten nyomblangin dia sama orang itu, eh.

Dengan volume suara yang sengaja direndahkan dari sebelumnya, ia mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri. “Halo, aku Ulya.”

“Kun. Temen sekelas Ten.” Kun menjabat tangan gadis itu dengan sigap.

“Ohhh anak seruker juga, tah?”

“Iya haha. Ke sini sendirian?”

“Iya, biasa sendiri sih soalnya kosku deket sini jadi tiap minggu pasti ke sini sendiri.”

“Makanya cari pacar,” ucap sosok yang sempat terasingkan dari dua orang tadi. “Eh lupa Johnny kan gamau sama lu ya.”

“Hah Jani? Dia suka sama Jani?”

“HENTIKAN SEMUA FITNAH INI.”

“Lo sendiri yang kemaren bilang.”

Gadis itu terdiam. Ya, emang bener, sih. tapi ya udahlah, kenapa malah jadi bahas orang yang di sana aja nggak ada, sih?! Ini kan namanya gosip!

“Eh lu mau bareng sama kami, gak, biar kayak punya temen.”

“Gausah, gue gamau ngikutin orang rempong.”

“Ngaca.”

“Gapapa ayo bareng aja, lagian kami juga gatau mau beli apa ke sini.” Kun menengahi perselisihan di antara keduanya dengan senyumannya yang teduh dan hangat bak mentari di film teletabis.

“Hmmm … sama, sih.”

Setelah berdialog cukup lama, mereka akhirnya menelusuri pasar itu beriringan. Sampai pada suatu saat, mereka terhenti pada sebuah stand yang menjual aneka topi. Kun yang berminat untuk membeli di sana.

“Eh ini lucu….” Ulya mengamati gelang-gelang yang terpajang di stand sebelah. Gelang-gelang itu disajikan dengan gantungan kecil yang memutar. Ada banyak sekali variasi jenis dan warna sehingga ia perlu mengambil satu per satu untuk mengamati detail bentuknya.

“Ini berapaan, bang?” Gadis itu menunjukkan sebuah gelang berwarna hitam dengan manik-manik berwarna silver.

“Kalo beli satu 15 ribu, tapi kalo dua 20 ribu.”

Tentu saja jiwa anak kosnya terpanggil. Kalau bisa dapat dengan harga lebih murah, kenapa harus milih yang mahal? (walo selisihnya beda dikit doang)

“Ten, mau gak lo?”

“Mau, tapi jangan yang itu dong modelnya norak.”

“Yang mana, dong!”

“Modelnya harus sama, ya, bang?”

“Iya, kalo mau dapet 20 ribu.”

Ulya mendecih pelan, kemudian menyahut, “Ih, males banget dah jadi kayak kopelan.”

“Ya gapapa kali aja entar beneran.”

“Wegah. Beneran stress sih iya.”

Keduanya kemudian kembali berfokus pada gelang-gelang yang ada di hadapan mereka. Memilah milih mana yang sekiranya bisa menggandeng selera keduanya.

“Yang ini, gimana?”

“Hm, boleh, deh.”

“Oke bang, kami ambil yang ini, ya.”


Selesai berbelanja (read : membeli benda-benda yang sebenernya nggak butuh butuh banget), mereka akhirnya kembali pada titik temu mereka—memisahkan diri. Kun dan Ten memarkirkan motornya di gerbang depan, sedangkan kos Ulya ada di pertigaan yang ada di pertengahan pasar. Ya, sudah, deh. Mereka pun berpamitan. Namun sebelum benar-benar mengambil jalur pulang masing-masing, Ten menyempatkan diri memberi sebuah petuah.

“Gelangnya dijaga baik-baik. Kalo ilang, kita putus.”

“Ndasmu putas putus. Mending sengaja gue ilangin aja dah kalo gitu!!”

Kemudian suara tawa terdengar, dan semakin lama semakin memudar—seiring dengan punggungnya yang ikut terseret arus hilir mudik manusia pengunjung sunmor.

senja bersama deadline #halu #tenfuy #deadline


Perjanjian sudah disepakati untuk selasa mendayu kala itu. Kedua pihak dari penggagas perjanjian sama-sama selesai kelas pukul satu. Dan sepulangnya, mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama di plaza kampus yang hanya berjarak tempuh meloncati satu fakultas dari fakultas mereka. Keduanya bukan teman satu jurusan, memang—kebetulan saja sama-sama sedang hectic dengan tugas-tugas menjelang UTS yang semakin mempertebal beban pikiran.

“Mau pesen apaan, nih.” Baru saja mereka menempati salah satu meja kosong yang tersisa, si laki-laki yang kali ini menggunakan kacamata bundar itu sudah membuka dialog.

“Milkshake coklat aja ah, gue dah kenyang tadi makan di kantin.”

“Ok gue samain aja biar garibet.”

Setelah memesan, mereka mulai membuka laptop masing-masing, membentuk suasana serius yang sebenarnya nggak mereka banget, tapi apa daya, realita mengoyakoyak keduanya.

“Gua gapaham anjirrrr.” Belum apa-apa Ulya sudah mengeluh, menepuk jidatnya berulangkali dengan wajah frustasi.

“Tugas lu ngapain emang?”

“Analisis Entimen dan Silogisme. Tau, gak?”

“Coba gue liat.”

Ulya pun memutar laptop maroon nya sehingga menghadap ke arah sosok yang ada di seberang meja, membiarkan orang itu mengamati apa yang ada di layar laptopnya.

“Oh, kayaknya gue paham. Bukannya pas SMA udah pernah, ye.”

“MASA SIH, NGGAK AH.” Gadis itu menjawab dengan volume lantang, tidak terima dirinya diremehkan dengan sosok lawan bicara. Walaupun tidak dipungkiri bahwa ia pun tidak meremehkan kemampuan otak laki-laki serba bisa itu, sih.

“Contohnya gini, kan,” ucap lelaki itu sambil mengetikkan sesuatu. Ulya yang ingin tahu dengan apa yang dituliskan di sana pun beranjak dari kursinya dan duduk di sebelah si pemegang kendali laptopnya.

“Nah, premis mayornya begini. Kalo premis minor sama kesimpulan ambil aja jeplak dari kalimatnya.”

“Kadang berguna juga ya lo.”

“Kadang apaan orang tiap hembusan nafas lo selalu minta tolong gue.”

“Cakep deh lo, makasih yak.”

“Tanpa bantuin lo begini juga udah cakep, monmaap.”

“Makin cakep deh.”

“Cakap cakep emangnya muka gue pantun.”

“Cieeee Ulya ihirrrrr ….”

Sebuah sahutan di tengah obrolan mereka mengejutkan keduanya—memancing perasaan mereka untuk menengok ke arah sumber suara. Ternyata teman-teman sekelas Ulya, sialan, kenapa pula ada mereka di sana?

Gadis yang namanya terpanggil itu pun beranjak dari tempat duduknya dan menarik sekumpulan orang itu untuk menjauhi meja tempatnya berdua—eh, nugas bareng.

“Kalian mau ngapain?”

“Ngerjain tugas, lah. Masa pacaran kek lo hiyahiyaaaa.”

“Bacot.” Gadis itu memutar bola matanya, memunculkan ekspresi ‘meh’. “Gue juga di sini ngerjain tugas, kali.”

“Lah cowo lu bukannya beda jurusan.”

“SIAPA YANG COWO GUE.” Ulya menjawab dengan nada berteriak yang tertahan.

“Ya dia, lah. Sapa tuh namanya, lo gapernah cerita-cerita lagi deket sama orang anjayyy kesel gua lo dah sold out,” ucap salah satu orang yang ada di gerombolan berjumlah lima orang tersebut.

“Bukan, anjir. Dia temen gue pas ospek dan kebetulan dia nugas juga.”

“Alah paling kedok doang biar bisa berduaan sama lo!”

“Ciaaaaa.”

“Sssst udah, ah. Sana kalian jauh-jauh.”

“Gamau diganggu nih ye.”

“Semangat pacarannya, Ul.”

“Wes terserah koe ae, ncen wes angel.”

Perempuan yang kali itu memakai penjepit rambut oranye lalu membalikkan badannya dan kembali ke tempat duduknya semula.

Gosh, entah kenapa menjadi objek gosip tentang hal-hal semacam itu selalu membuatnya risih. Nggak kenapa-napa sih, masalahnya dia nggak suka sama cowo yang mereka sebut itu! Dia kan sukanya sama kak Johnny, kalau gosip itu sampe kedengeran dia gimana?

Walau tidak ada jaminan juga kalau kak Johnny mau sama dia, sih.

“Temen lo?”

Ulya mengangguk setelah mendudukkan dirinya di samping si lelaki. “Pusing banget gua sama mereka.”

“Pasti mereka ngira kalo gue cowo lu.”

“Kok tau?”

“Kan emang bener?”

Sebuah tamparan kecil berhasil mendarat dengan cepat di lengan kiri Ten yang diikuti dengan suara cekikikannya yang terdengar super menyebalkan.

Sore itu terus berlanjut dengan suasana yang tidak biasanya. Well, selama ini Ulya tidak pernah melihat sisi serius dari sosok yang sedang bersamanya itu, yang kesehariannya hanya menampilkan pesonanya sebagai bujang belegug yang selalu bertingkah konyol.

Dan gadis itu sebenarnya cukup mengaguminya, sedikit doang tapi—dan bukan kekaguman ala-ala karakter protagonis di novel romantis dan semacamnya—kegaguman itu seperti bersuara ‘this guy is annoyingly amazing and im proud to be the one who was allowed to stay by his side’.

Iya, hanya itu.

kisah klasik di warmindo #halu #tenfuyu #warmindo


“Kamu tau gak, selama dua minggu yang terlewati dalam bulan ini tuh aku kena sial mulu.”

Perempuan yang tengah duduk menunggu pesanan nasi telor nya datang itu memasang raut wajah suram.

“Bukannya ini bulan lahir lo, ya.”

“Ya, makanya! Aneh banget sumpah,” ucap si gadis dengan tekanan nada yang menguat, “Pertama pas aku kehilangan duit 100ribu padahal udah pesen makanan di kantin, trus kemarin lupa ga ngembaliin helmnya mamang gojek, dan yang paling baru ini semalem gue salah kirim video ke dosen jirrrrr harusnya ngirim video tugas malah ngirim video gua!!” Ulya menjelaskan ceritanya menggebunggebu dan tanpa sadar telah mengganti sebutan orang pertama pelaku utama dalam ucapannya, dari ‘aku’ menjadi ‘gua’ yang biasa ia gunakan ketika ia sudah benar-benar kesal.

“Gila gila video apaan tuh.”

“Gausah mikir macem-macem. Cuma video gue nyanyi gajelas TAPI NYANYINYA TUH GUE SENGAJA FALES-FALESIN.”

“Emang dasarnya fales kali suara lu.”

Sebuah tabokan mendarat di lengan kiri si lelaki, kemudian si pelaku penabokan itu berucap, “Jangan salah fokus, deh. Intinya hidup gue sial banget akhir-akhir ini. Kenapa, sih ….”

“Nasi telor dua sama es teh dua, ya.”

Mamang-mamang burjo pun mengalihkan perhatian mereka berdua yang tadinya saling menatap kini sama-sama mengarahkan pandangan ke arah objek yang sudah mereka tunggu-tunggu sejak sepuluh menit yang lalu.

“Makasih, bang.”

Pembicaraan mereka pun terhenti begitu saja setelah tangan mereka mulai memainkan sendok dan garpu; perut mereka sudah menantikan saat-saat masuknya sumber kekuatan kebanggaan anak kos ini.

Mereka belum benar-benar menghabiskan santapannya ketika seseorang tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka—lagi—dan kali ini bukan mamang-mamang burjo, melainkan sesosok yang mereka sama-sama kenal, tapi tidak tahu bahwa ketiganya saling mengenal. Membingungkan, kan?

“Eyyyy lagi pada ngapain, neh!”

Tubuh bongsor dari si pemilik suara kemudian duduk di samping Ulya, kali ini formasi mereka menjadi : Johnny-Ulya-Ten. Ya, laki-laki itu adalah Johnny, kakak tingkat Ulya di UKM fotografi yang diikutinya.

Dan teman satu SMP Ten.

“Dah lama gaketemu, woi! Ke mana aja, lu?”

“Ga kemana-mana, lah. Fakultas kita ‘kan beda ya wajar jarang ketemu.”

“Trus lo jauh-jauh dari fakultas lo ngapain makan di sini? Abis main ke kos temen?”

“Bentar bentar, kalian saling kenal?”

Suara Ulya merusak alur pembicaraan antar lelaki itu. Ya, gimana, ya, padahal dia juga kan kenal dengan keduanya, tapi rasanya jadi seperti obat nyamuk. DAN KENAPA PULA DIA BARU TAHU KALAU KAK JOHNNY DAN SI CAUR INI SALING KENAL?

“Kami kan temen SMP.”

“Kok gaada yang cerita ….”

“Lah, mana gue tau kalo lo kenal si Johnny.” Ten menjawab dengan santai, kemudian menyeruput es teh yang sempat ia diamkan.

“Kok lo manggilnya gapake ‘kak’ sih bukannya dia kakak tingkat lo ….”

“Gak, kami sebenernya seangkatan. Ten sempet cuti sekolah setahun karena-”

“Dah dah gausah cerita-cerita. Mending lo pesen makanan deh, John.”

“Alright, gue sampe lupa hahaha.”

Ulya masih tidak mengerti dengan fakta yang baru saja ia dapatkan ini. Ten tidak pernah cerita bahwa ia mengenal kak Johnny dan dia juga tidak pernah cerita mengenai cuti sekolah—memang tidak penting juga, sih, tapi setidaknya dia ingin lebih mengenal seluk beluk laki-laki yang selama ini telah menampung curahan hatinya tanpa meminta balasan—walaupun seringnya merespon dengan menyebalkan, sih.

Johnny telah memesan nasi goreng dan es jeruk. Sayangnya sebelum pesanan itu datang, Ten dan Ulya sudah menghabiskan makanan mereka. Keduanya pun memanggil abang pemilik burjo untuk membayar makanan masing-masing.

“Kami duluan ya, John.”

“Duluan ya, Kak.”

“Idih kak-kek-kak-kek, sok imut.”

“Apaan sih cari masalah banget lu.”

“Kalian akrab, ya.”

“Iyala—” “NGGAK!!!!”

Jawaban yang tidak sinkron di antara keduanya membuat si lelaki berparas jangkung itu terkikik pelan.

“Ok hati-hati kalian pulangnya.”

“Siappp.”

Ten dan Ulya berlalu, menjemput sepeda motor milik Ten yang tengah terjaga di depan warung berstatus ‘Warmindo’ yang posisinya di seberang gerbang Fakultas mereka. Selagi Ten mengulurkan helm kepada si perempuan yang berdiri di belakangnya, perempuan itu membuka suara.

“Aku masih kaget kamu kenal dia.” Mode formal gadis itu pun kembali merasuki tata ucapannya.

“Emang kenapa? Lo naksir?”

“Iya.”

“Anjing.”

Mereka berdua terdiam sebentar, sampai pada akhirnya satu per satu menaiki tunggangan kendaraan roda dua di hadapan mereka.

Dalam perjalanan, mereka masih belum juga melanjutkan kembali pembicaraannya—sampai suatu saat si pihak perempuan memutuskan untuk menyambungkan ujungnya yang sempat putus.

“Kaget, ya?”

“Selama ini lo curhat ke gue tapi gapernah cerita tentang dia sama sekali, so, pikir sendiri.”

Sebelum sampai di depan kosnya, Ulya berusaha menjelaskan apa yang baru saja dikatakannya dengan terbuka. Ten tidak menyahut dengan kata apapun, dia terus mendengarkan cicitan dari gadis itu sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyahut.

“Udah, ah. Gapenting juga lo nyeritain dia ke gue.”

“Tadi lo sendiri yang minta!”

“Gue bilang lo gapernah nyeritain dia ke gue, bukan minta lo nyeritain dia ke gue.”

“Sama aja!”

“Kok kesialan lu sekarang nular ke gue, sih.”

“Sial apanya! Kalo lo emang gamau dengerin yaudah gue gabakal cerita lagi. Jangan anggap sial juga do—”

“Hash, bukan itu.”

“Trus apa? Sial karena gue naksir temen lo?”

Tidak ada jawaban dari si pengendara. Tapi bukan berarti gadis itu membiarkan obrolannya terputus begitu saja. Dia masih ingin berbicara lebih.

“Lo juga ga cerita lo pernah cuti sekolah. Lo kenapa?”

“Gapenting.”

“KOK NGAMBEK SIH. Lagian gue tau diri dan ga beneran naksir yang sampe segitunya, kok. Dia kan banyak yang suka.”

“Tuh tau.”

“Asu. ” Kata tersebut mengakhiri perjalanan mereka karena tepat setelahnya, motor yang mereka tunggangi tengah berhenti di depan bangunan bercat jingga.

fremilt dan malam minggu #halu #tenfuyu #fremilt


“pgn fremilt....😭😭😭”

Begitulah tulisan yang terpapar di layar ponsel Ten ketika ia mengamati deretan snap Whatsapp dari teman-temannya. Untuk kali ini mungkin bukan temannya; sahabatnya, atau frenemy, atau apalah itu dinamakan pokoknya mereka sebetulnya tidak begitu akrab, namun bukan juga tidak akrab. Duh, ribet emang kek orang-orangnya!

Segera ia ketikkan beberapa kata untuk membalas snap WA bermuatan curhat itu : “di deket rumah gua ada tuh”

Tak lama, balasanpun datang. Seperti biasanya, gadis itu memang selalu membalas pesan dengan cepat karena kesehariannya yang gabut dan sebagian besar dihabiskan di depan layar HP. “EH BENER TUH titip beliin dong,,,,, 🤤”

Hadeh,,,,,,,,,,Ten menghela nafas, padahal niatnya membalas begitu supaya si pencurhat datang main ke rumahnya sekalian membeli minuman khas dari negaranya itu, eh, malah dia terjebak dan dianggap sebagai driver gojek.

“Yeeee belilah sendiri! Emang gua mamang gofut!!”

“Klo pake gofut mahal banget cui aslinya 10ribu di gofut jd 13ribu mana pake ongkir lg”

“Ya lo ke sini aja, sekalian main ke rumah.”

Itu dia yang ingin ia sampaikan dari awal, akhirnya keluar juga.

Dan jawaban dari si lawan chatting adalah ......... : “gw gada motor lu mikir gaksi klo pake gojek sama aja gw boros kan niatnya mau irit”

Dasar anak kos nyusahin!!

Ten lagi-lagi menghela nafas. Memang selalu begini jadinya ketika dia membalas snap WA dari orang satu ini, SELALU BERUJUNG RIBET. Sudah tau begitu dia tidak juga kapok dan masih melakukan hal yang sama walaupun sudah tau resikonya. Dia pun tidak mengerti, rasanya dia sudah dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.

“Yaudah gua anterin dah, tapi syaratnya lo harus nemenin gua ke plaza, bentar”

“Ngapain gw ke plaza kan td gw bilang pen irit”

“Siapa juga yang minta lo hedon di sana kan gua mintanya cums nemenin”

“Aaaaaaaa ribet bgt ye”

“Lo nya aja yang gamau susah-susah makanya ribet!!!”

Sudah habis emosinya sampai dia mengetikkan tanda seru beberapa kali yang menandakan bahwa dia benar-benar tidak tahan menangani manusia satu ini.

“Iya deh iya, gw pesen fremilt yang cocoa ya”

“Ok gua otw, lo langsung stay depan kos biar langsung gas”

“Gamau”

“Oh jadi gua perlu masuk ke kamar kos lu sekalian nih?”

“IHhhh IYA IYA BAWEL”

Saat itu pukul setengah delapan malam, dan gadis itu baru menyadari bahwa malam ini adalah malam yang astral bagi sebagian kaum.

Malam minggu. Hei, bukannya gimana-gimana, ya, cuma .... malam minggu itu kan rame!! Ih kok dia tadi main iya-iya aja, sih?!?!? Kalo di plaza ketemu kak Johnny gimana?

Ulya membenturkan kepalanya ke dinding di sebelahnya, sudah seperti ritual rutin memang bertindak sebelum menyesal jadi dinding kamar pun sudah hafal dan bersahabat dengan bentuk kepalanya.


Sekitar duapuluh menit setelah obrolan mereka lewat chat terputus, Ten akhirnya tampak di pandangannya dengan motor beat hitamnya—yang tengah membonceng seorang perempuan berambut panjang dengan jaket merah muda. Hei, dia tadi tidak bilang kalau kasusnya akan cenglu, ya!! Apa-apaan ini!

Selagi Ulya terus bergemuruh dalam hati, Ten akhirnya membuka kaca helmnya, kemudian bersuara, “Sori, ya, kayaknya gajadi deh rencana yang tadi, gua lupa harus kumpul organisasi.”

Gadis yang masih menunggu pesanannya diterima itu pun langsung mengerti bahwa perempuan yang membonceng itu salah satu rekan organisasinya. Tapi siapa peduli!!

Ten menjeda perkataannya selagi mengambil sesuatu yang digantungkan di bawah kepala motornya, “Nih. 10ribu plus ongkir 5ribu.”

“IH!! YANG IKHLAS DONG!!”

“Hahahhaha” Tawa renyahnya membuncah menghancurkan suasana canggung mereka, dan perempuan yang ada di belakangnya masih belum buka suara.

“Yadah, nih, 10ribu aja. Baik kan gua.”

“Kalo baik ngapain lo-”

“Udah diem, sini duitnya. Cepet masuk kos. Dah malem.”

Entah kenapa ada rasa tidak nyaman mendengar kalimat itu—sekaligus senang akhirnya dia bisa membeli minuman kesukaannya itu tanpa gofut. Yah, sudahlah, apapun rasa tidak nyaman itu dia yakin pasti akan segera pudar seiring dengan menghilangnya wajah laki-laki ini dari hadapannya.

“Nih. Makasih, ya.”

“Sama-sama. Gua berangkat dulu, ya.”

“Hati-hati.”

“Mana?”

“Apanya?”

“Katanya hati? Hati gua ketinggalan di elu?”

APAAN SIH MALU-MALUIN

Ulya benar-benar tidak habis pikir, dilihatnya sosok perempuan yang ada di sana mengamati mereka—tampak sedang menahan tawa. Ia paham, suasana ini begitu cringe dan memalukan untuk dialami—bahkan sekedar diamati oleh sebagian besar orang (kecuali para penggila film Dilan yang mungkin akan beranggapan lain). Dan ia harap orang yang menciptakan suasana ini segera enyah dari hadapannya.

“Apaan sih udah ah sana pergi.”

“Okok, bye loser.”

“Bye babi.”

Dua orang yang berboncengan itu pun berlalu seketika, semakin lama bayangan dari punggung sepeda motornya semakin mengecil, kemudian lenyap termakan belokan yang berada sekitar limapuluh meter dari tempatnya menepi sebelumnya.

Aneh, rasanya dia jadi tidak benar-benar ingin fremilt yang tengah dipegangnya ini. Entah kenapa ada perasaan kesal yang bercabang; kesal karena Ten mengatakan hal yang tidak-tidak di hadapan rekannya, dan kesal karena Ten membatalkan rencana ke plaza, padahal dia sudah berpenampilan rapi.

Atau sebenarnya kesal karena ada perempuan lain di antara mereka yang membuat kebersamaan mereka menjadi lebih terbatas?

Hah, memangnya kalau Ten datang sendirian kau mau apa, Ulya?

Gadis itu pun memasuki kamar kosnya, diminumnya fremilt yang sedari tadi sudah ia genggam, kemudian ia meraih HP yang tadi ia tinggalkan di kasurnya.

Ia mengetikkan sesuatu di layar yang berlatarkan ungu tua polos,

“fremiltnya gaenak.”


Di sisi lain, dua orang yang tengah berada dalam perjalanan mereka menuju PKM memperbincangkan si perempuan yang telah tertinggal di belakang itu.

“Pacar lu, ye?”

“Bukan.”

“Iya juga sih mana ada orang pacaran ribut kek tadi.”

“Ada, lah, bentar lagi.”