sunday morning #halu #tenfuy #sunmor


Kali ini nggak seperti biasanya, pertemuan dua karakter utama itu tidak direncanakan alias kebetulan saja takdir mempertemukan mereka—lagi—nggak bosen-bosen.

Saat itu hari minggu, deket kos Ulya ada sunday morning; pasar murah meriah yang terkenal selalu ramai tiap minggunya. Sebagai mahasiswi gabut, mau nggak mau ia menghabiskan waktunya untuk berkunjung ke sana dalam rangka mencari udara segar—walau sebenarnya panas juga, sih. Beda kasusnya sama Ten yang nggak biasanya ke sunmor—kali ini dia bersama dengan temannya.

“Lah kok lu ke sini!” Ulya langsung menyapa sosok yang ia kenal itu sambil kemudian menyingkirkan diri dari barisan para pejalan kaki, agar tidak menghalangi orang yang akan lewat, yang kemudian diikuti dengan kedua lelaki yang ia ajak berbincang.

“Suka-suka gue lah emang pasar ini punya lu.” Tanggapan dari salah satu lelaki memancing kelanjutan dari obrolan mereka.

“Ke sini cari apaan?”

“Cari gebetan.”

“Geloooo.”

“Nih, kenalin temen gue, namanya Kun.” Ten menepuk pundak seseorang yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum dengan sangat manis, sampai rasanya Ulya ingin Ten nyomblangin dia sama orang itu, eh.

Dengan volume suara yang sengaja direndahkan dari sebelumnya, ia mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri. “Halo, aku Ulya.”

“Kun. Temen sekelas Ten.” Kun menjabat tangan gadis itu dengan sigap.

“Ohhh anak seruker juga, tah?”

“Iya haha. Ke sini sendirian?”

“Iya, biasa sendiri sih soalnya kosku deket sini jadi tiap minggu pasti ke sini sendiri.”

“Makanya cari pacar,” ucap sosok yang sempat terasingkan dari dua orang tadi. “Eh lupa Johnny kan gamau sama lu ya.”

“Hah Jani? Dia suka sama Jani?”

“HENTIKAN SEMUA FITNAH INI.”

“Lo sendiri yang kemaren bilang.”

Gadis itu terdiam. Ya, emang bener, sih. tapi ya udahlah, kenapa malah jadi bahas orang yang di sana aja nggak ada, sih?! Ini kan namanya gosip!

“Eh lu mau bareng sama kami, gak, biar kayak punya temen.”

“Gausah, gue gamau ngikutin orang rempong.”

“Ngaca.”

“Gapapa ayo bareng aja, lagian kami juga gatau mau beli apa ke sini.” Kun menengahi perselisihan di antara keduanya dengan senyumannya yang teduh dan hangat bak mentari di film teletabis.

“Hmmm … sama, sih.”

Setelah berdialog cukup lama, mereka akhirnya menelusuri pasar itu beriringan. Sampai pada suatu saat, mereka terhenti pada sebuah stand yang menjual aneka topi. Kun yang berminat untuk membeli di sana.

“Eh ini lucu….” Ulya mengamati gelang-gelang yang terpajang di stand sebelah. Gelang-gelang itu disajikan dengan gantungan kecil yang memutar. Ada banyak sekali variasi jenis dan warna sehingga ia perlu mengambil satu per satu untuk mengamati detail bentuknya.

“Ini berapaan, bang?” Gadis itu menunjukkan sebuah gelang berwarna hitam dengan manik-manik berwarna silver.

“Kalo beli satu 15 ribu, tapi kalo dua 20 ribu.”

Tentu saja jiwa anak kosnya terpanggil. Kalau bisa dapat dengan harga lebih murah, kenapa harus milih yang mahal? (walo selisihnya beda dikit doang)

“Ten, mau gak lo?”

“Mau, tapi jangan yang itu dong modelnya norak.”

“Yang mana, dong!”

“Modelnya harus sama, ya, bang?”

“Iya, kalo mau dapet 20 ribu.”

Ulya mendecih pelan, kemudian menyahut, “Ih, males banget dah jadi kayak kopelan.”

“Ya gapapa kali aja entar beneran.”

“Wegah. Beneran stress sih iya.”

Keduanya kemudian kembali berfokus pada gelang-gelang yang ada di hadapan mereka. Memilah milih mana yang sekiranya bisa menggandeng selera keduanya.

“Yang ini, gimana?”

“Hm, boleh, deh.”

“Oke bang, kami ambil yang ini, ya.”


Selesai berbelanja (read : membeli benda-benda yang sebenernya nggak butuh butuh banget), mereka akhirnya kembali pada titik temu mereka—memisahkan diri. Kun dan Ten memarkirkan motornya di gerbang depan, sedangkan kos Ulya ada di pertigaan yang ada di pertengahan pasar. Ya, sudah, deh. Mereka pun berpamitan. Namun sebelum benar-benar mengambil jalur pulang masing-masing, Ten menyempatkan diri memberi sebuah petuah.

“Gelangnya dijaga baik-baik. Kalo ilang, kita putus.”

“Ndasmu putas putus. Mending sengaja gue ilangin aja dah kalo gitu!!”

Kemudian suara tawa terdengar, dan semakin lama semakin memudar—seiring dengan punggungnya yang ikut terseret arus hilir mudik manusia pengunjung sunmor.