once upon a time #3 #taeten #jnt #au #fanfiction


kafe bercat abu-abu itu berjarak tak lebih dari 3km dari rumah ten. sebenarnya dia bukan pelanggan di sana, hanya saja karena dalam perjalanan ke rumah sore itu gerimis, dia terpaksa melipir ke sembarang tempat terdekat yang ditemui untuk berteduh.

hari ini secara tidak biasa langit menurunkan hujan. padahal baru kemarin laki-laki itu mengeluhkan panas matahari yang begitu menyengat. mungkin ini pertanda bahwa musim kemarau telah usai, pikirnya. patut disyukuri, namun tetap memicu keluhan dari pemuda yang tidak siap menghadapi hujan tak terencana itu. tidak ada jas hujan di jok motor—dia bahkan sudah lupa di mana menyimpannya saking lamanya tak terpakai. tapi sudahlah, baginya tidak masalah untuk sesekali mampir ke kafe seorang diri. sebab biasanya dia hanya pergi ke kafe jika johnny suh mengajaknya nongkrong, atau saat mantan kekasihnya minta ditemani mengerjakan tugas di sana.

oh, tentu saja. orang sepopuler chittapon sudah khatam dalam berbagai jenis hubungan asmara. mau laki-laki, perempuan, semuanya pernah ia jamah. tentu johnny suh bukanlah salah satunya—laki-laki itu hanya teman setia yang telah membersamainya sejak kecil, karena rumahnya yang bersebelahan dan tak pernah berpindah.

saking seringnya mereka bersama, tak jarang mantan-mantan ten menunjukkan kecemburuan mereka. barangkali hubungan mereka memang cukup berlebihan, saling menginap di rumah satu sama lain sudah menjadi kebiasaan yang mereka anggap maklum. tapi tidak dengan mantan-mantan kekasih ten itu.

ten memesan segelas americano, sekadar untuk mengisi kekosongan saat menunggu hujan reda. hitung-hitung untuk membandingkan dengan produk kafe langganannya di lain tempat. pesanannya datang tak sampai sepuluh menit sejak ia memesannya. seorang perempuan dengan apron army mengantarnya dengan menambah bonus; seutas senyum. “selamat menikmati.”

laki-laki itu hanya membalas dengan anggukan—juga barter senyum, seakan akan sedang beradu siapa yang senyumannya paling manis di antara mereka berdua. pelayan sudah kembali ke tempatnya. ten memandang gelas americano di depannya, kemudian mengaduknya dengan sendok kecil yang disediakan.

“anu ....”

dari belakang, terdengar suara seseorang yang terasa tak asing bagi ten. seketika ditengoknya arah sumber suara tersebut, dan terkejutlah ia.

“lho, kau yang mengantar paket itu 'kan?”

laki-laki yang berdiri satu meter di belakang kursinya mengangguk. “tidak disangka kita bertemu di sini.”

penampilan laki-laki tersebut agak berbeda dengan yang biasa ten temui ketika sedang mengantar paket ke rumah. tentu saja, saat ini si pengantar paket ini sudah tidak sedang berperan sebagai pengantar paket—melainkan seperti pemuda seumurannya.

“kau sendirian? boleh aku duduk di sini?”

“tentu saja. aku tadi juga tidak sengaja mampir karena gerimis.”

“i see ....” laki-laki dengan jaket jeans itu mendudukkan diri di kursi. “sebenarnya aku sedang menunggu temanku. tapi sepertinya masih lama. barusan dia mengabari kalau ada barangnya yang ketinggalan.”

“oh, apakah teman kerja?”

“kuliah. mengantar paket hanya pekerjaan sampingan, jadi aku tak begitu dekat dengan rekan-rekan kerjaku.”

“begitu, ya ....” ten menyeruput americano panasnya, kemudian melanjutkan obrolan. “kuliah di mana?”

“universitas permadani. jurusan ilmu komunikasi.”

“aku punya teman di sana! tapi aku tidak yakin satu jurusan denganmu atau tidak.”

“permisi. ini pesanannya.” si pemilik suara dengan hati-hati menaruh segelas minuman kecoklatan ke atas meja, lengkap dengan dudukan gelasnya. “selamat menikmati.”

obrolan mereka terdistraksi sebentar oleh segelas latte yang diantar oleh pelayan. setelah pelayan itu lewat, obrolan pun berlanjut.

mereka mengobrol seakan akan sudah kenal dekat sebelumnya—ya, walau ini bukan kali pertama mereka bertemu, tapi untuk bisa mengobrol seintens itu merupakan kali pertama bagi mereka. rasanya suasananya seperti bertemu dengan teman lama, batin ten.

segelas americano sudah lenyap, diikuti dengan rintik hujan yang kian meredup, sampai akhirnya langit benar-benar tak meneteskan apapun lagi.

“hujannya sudah reda. kau tidak pulang?”

“benar juga.” ten menengok ke arah jendela kaca di sampingnya yang menampakkan pemandangan jalan raya basah sehabis diguyur hujan selama kurang lebih satu jam. “kalau begitu aku pergi dulu, ya.”

“oh maaf, boleh aku minta nomormu?” kalimat itu terdengar seperti rayuan orang yang sedang ingin mendekati incarannya, menurut ten, yang terlalu percaya diri. “barangkali aku butuh, paketmu selalu datang tiap minggu.”

ten yang sudah berdiri dari kursinya duduk kembali. “08136824256.”

laki-laki di depannya mengetik dengan ponselnya, kemudian tersenyum. “terima kasih.”

ten berlalu melewati pintu masuk kafe, dan di saat itu pula seorang wanita berambut panjang dengan hoodie merah muda masuk berlawanan arah dari arah kepergiannya.

wanita itu kemudian tersenyum setelah mendapati sosok yang dicarinya sudah duduk di salah satu meja kafe. “lee taeyong~”

laki-laki yang dipanggil namanya itu menoleh. “ah, kau sudah sampai rupanya.”

tak lama kemudian laki-laki yang baru saja keluar kembali masuk ke dalam kafe, wajahnya terlihat waswas, seperti telah kehilangan sesuatu.

“charger handphoneku ... aku lupa mengambilnya.”

sebelum mencabut charger handphone nya dari stop kontak di dekat mejanya tadi, ten menatap laki-laki dan perempuan yang kini menduduki kursi yang ia tempati sebelumnya.

“maaf mengganggu kalian. permisi.”

ten kembali keluar dengan langkah gusar. banyak pertanyaan yang mengisi pikirannya—yang sebenarnya tidak begitu perlu untuk ia pikirkan. tetapi mengingat si pengantar paket itu tidak berkata apapun ketika dia datang, dia cukup tersinggung. serasa seperti orang asing yang baru saja merusak kencan sepasang kekasih yang harmonis.

seharusnya dia tak perlu tahu siapa perempuan itu, tapi hati kecilnya cukup gelisah. dan dia harap selanjutnya dia tidak pernah bertemu dengan si pengantar paket lagi.