keluh kesah kelas pagi #halu #tenfuy #morningclass


“Jangan brengsek-brengsek napa sih jadi orang. ARRRRRRGHHH KENAPA HARI INI SEMUA ORANG BIKIN GUE EMOSI DOANG DAH.”

Dari rangkaian kata-katanya, Ten tahu betul bahwa perempuan yang sedang misuh-misuh di hadapannya ini sedang mengalami sindrom bulanannya cewek, aka PMS. Walau misuh-misuh adalah senjata gadis itu sehari-hari, tetap saja keliatan mana kondisi normalnya dan mana kondisi dia dikendalikan hormon menstruasi yang membuatnya jadi lebih sensitive dari biasanya.

Pernah suatu ketika Ten kena siram es teh di burjo saat gadis itu sedang dalam masa PMS nya. Saat itu emang parah, sih. rasanya dia ingin siram balik pakai kopi panas yang sedang diminumnya tapi dia masih waras, dan ingat bahwa perempuan itu sedang kurang sehat secara jiwa raga.

Kali ini lagi-lagi Ulya menunjukkan kesensitifannya. CUMA GARA-GARA TEN GASENGAJA NEPOK PUNDAH DIA DARI BELAKANG PAS GASENGAJA PAPASAN DI KANTIN FAKULTAS. Gila, cewek emang monster.

“Jangan teriak-teriak napa, diliatin orang.”

“Bodo!”

“Ya udah gue traktir minum sini, asal lo berenti berisik.”

“Mau jus mangga.”

Dalam situasi apapun, anak kos tetaplah anak kos dengan jiwa miskin yang mendarah daging. Ten sebenernya agak kesel—kesel banget, malah. Seakan-akan cewe punya hak untuk memorotin duitnya dengan alasan PMS.

Mereka berdua akhirnya memilih tempat duduk di ujung kantin yang beberapa menit sebelumnya ditinggalkan pengunjung lain. Ulya memainkan handphonenya, begitu pula dengan Ten. Keduanya sama-sama menunggu pesanan mereka datang dengan saling terdiam, sampai akhirnya Ten memberanikan diri membuka obrolan.

“Lo ada kelas jam berapa?”

“Kepo.”

“Eh anjing gue tanya bener-bener malah nyolot gue getok lu ye!”

“LAGIAN KENAPA SIH ORANG KELAS GUE DAH SELESE.”

“YA TINGGAL JAWAB GITU NAPA DAH PAKE KEPA KEPO.”

Kemudian hening. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan emosi yang membara di benak masing-masing. Sampai pada akhirnya ibu kantin mematahkan perang menatap mereka, meletakan segelas jus mangga dan nescafe panas di meja mereka.

“Gue mau curhat.”

Emang random banget ni orang, batin Ten. Tapi mau gamau dia harus mendengarkan celotehan si pencurhat bila ingin pulang dengan selamat.

“Tadi gue males banget, masa diketawain anak-anak kelas gara-gara gue ngucap huruf 'b' nya aneh!!”

“Lah kok bisa.”

“Tadi kan gue penilaian praktek MC.”

Ten terkikik. Ternyata hanya masalah sepele seperti ini yang sedang mempengaruhi emosi perempuan itu? Kekanak-kanakan sekali.

Laki-laki itu kemudian menepuk pucuk kepala si perempuan, mengusapnya pelan, mencoba menenangkan. “Gapapa, gausah dipikirin,” ucapnya seraya melepaskan kepala gadis yang masi membatu, menatapnya tajam. “Lo gabisa ngomong 'i love you' aja selama ini gue gapernah komplain, tuh.”

“Diem.”

Ten kembali terkikik, kali ini lebih keras sampai matanya menyipit, mengumbar identitas rasnya. “Lagian gitu doang, sih. Kirain lo abis dirampok apa diamuk dosen.”

“Ngga gitu doang! Kan gue jadi ga pede kalo mau ngomong!”

“Yaudah, sekarang gausah ngomong sama mereka. Ngomongnya sama gue aja.”

Ulya menendang kaki yang ada di seberang dengan kesal. “Lo tuh bisa ngehibur orang gak, sih.”

“Jadi pacar gue dulu baru gue hibur.”

Bisa dipastikan Ulya frustasi menghadapi perbincangan yang selalu saja menyebalkan dengan si lawan bicara tersebut. Ia lalu beranjak dari kursinya tanpa berpamitan, meninggalkan segelas jus mangga yang masih sisa setengah. Dan Ten tidak merasa bersalah sama sekali.