bincang-bincang platonis #halu #tenfuy #platonis
Tidak ada hujan tidak ada badai, pada suatu hari di pertengahan minggu, ketika perkuliahan sedang hectic-hecticnya, Ulya meminta Ten menemuinya di pendopo fakultas. Padahal tidak biasanya ia bertemu dengan lelaki beretnis cina itu di kampus, kali ini entah kenapa, Ten sampai bersuudzon kalau perempuan itu habis diajak minum-minum panas sama mas-mas dari UKMnya—yang tentu saja tidak benar.
“Apaan sih lebay! Walo gue penasaran sama rasanya tapi kagak lah.”
“Ya trus kenapa lo tiba-tiba manggil gue?”
Gadis itu kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah surat yang sudah dibalut amplop ungu. “Nih, buat kamu.”
“Hm, tiba-tiba jadi aku-kamu, ada apaan, neh.” Ten menerima surat tersebut sambil bergumam. “Boleh dibuka sekarang?”
“Mending jangan.”
“Malu ye lu! Lu confess ke gue apa gimana ni isinya—”
“Bukan gue, lah! Ngarep amat, luh.” Ulya memasang gimik geli. “Dari temen gue. Dan gue mana tau isinya apaan. Karna gue gaperlu tau, jadi bacanya jangan di depan gue, lah.”
“Anzirrrr masih jaman ya pake surat-suratan gini.”
Perempuan yang ada di depannya tak menjawab. Sampai akhirnya keduanya terdiam bersama, memandangi pemandangan taman fakultas di sebrang mereka.
“Sekarang kok jadi panas banget, ya.”
“Gausah cemburu gitu, dong.”
Sebuah tabokan meluncur ke punggung si lelaki, yang sudah bukan merupakan hal yang asing lagi bagi keduanya.
“Panas beneran iklimnya! Susah banget sih ngomong sama lu heran gua!”
“Ya gimana dong gue kan cuma mengekspresikan perasaan.”
Ulya menatap laki-laki yang duduk di sampingnya dengan tatapan heran, kemudian memastikan apa yang baru saja didengarnya. “Ten, lu naksir gue, ya?”
Pertanyaan itu tak lekas mendapat jawaban dari si penerima pertanyaan, tampaknya dia mengerutkan dahi sedikit sambil balik menatap orang di sampingnya.
“Tau, dah.” Akhirnya lelaki itu menjawab, kemudian melanjutkan, “Kenapa, sih? Aneh banget lo mikirnya.”
“Elu yang suka ngomong aneh-aneh! Gue ga baper sih cuma kalo dipikir-pikir lo gitu amat kalo ngomong kayak pas insiden gelang di sunmor itu.” Ulya berbicara panjang lebar. “Sekarang coba gue tanya, kalo gue jadian sama kak Johnny, lo marah, gak?”
“Gausah halu.”
“Yaudah kalo gue nembak kak Johnny, lo sedih, gak?”
“Sedih, lah.”
“Kan!”
“Gue kan suka sama Johnny.”
Twist yang begitu bangsat.
Sebangsat orang yang ngomong, batin Ulya.
“Kok gue gatau kalo lo bi ....”
“Percaya aja lo.”
“HIH! JAWAB YANG BENER DONG!”
“Kan gue bilang gatau, kalo belom kejadian.”
Ulya menghela nafas, sudah merasa jenuh dengan pembicaraan yang semakin tidak jelas arahnya ini.
“Tapi kalo lo bikin surat cinta kek gini bakal gue terima dengan senang hati, sih.”
“Jangan ngarep.”
“Oh kalo pertanyaannya dibalik gimana? Kalo isi surat ini temen lo nembak gue terus gue terima, lo bakal sedih?”
“Ya iya, lah.”
Ten sebenarnya tidak punya ekspektasi akan jawaban dari gadis itu yang keluar dari mulutnya seenak jidat, berbeda dengannya yang masih mikir-mikir.
“Karna dia temen gue, lo juga temen gue, gue harus jauh-jauh dari kalian, dong?”
“Yaudah sekarang kita aja yang pacaran ribet amat, sih.”
“Lo beneran naksir gue, ya?”
“IYA DAH IYA! SELAMAT ANDA BERHASIL MEMANCING AINK!”
Ulya memberi jeda sebentar sebelum akhirnya membalas, “Gue tuh gabisa bedain mana becandaan mana beneran.”
“Gapapa, orang gue juga gabisa bedain apalagi lo.”
Perbincangan aneh mereka berakhir setelah kalimat yang dilontarkan laki-laki itu dilanjutkan lagi olehnya, “Gue pergi ya, masih ada kelas jam tiga.”
“Oke.”
“Kalo kangen chat aja, say.”
Kepala Ulya merasa butuh asupan penenang, kalimat-kalimat yang diucapkan orang itu, tuh, kenapa sih selalu engga sinkron satu sama lainnya?