fuyuhanacherry

i talk a lot in silence

[ i dont want to fall, i want a kiss ] #day7 #bucinktober #frenchkiss #taeten


“Sakit ya?”

“Jatuh dari surga maksudmu? Aku tahu aku semenarik itu tapi sekarang kalimat itu sudah basi, Lee Taeyong.” Ten menebak dengan rasa sungkan. Sekarang terlalu pagi untuk gombalan murah semacam itu, pikirnya.

“Bukan,” ujar Taeyong menepis tebakannya, “Sakit kan jatuh cinta padaku?”

“Aku tidak harus menjawabnya, ‘kan?”

“Tidak, sih, tapi aku ingin tahu.”

“Well, jatuh untuk hal apapun pasti sakit. Tapi aku tidak jatuh, kok.”

“Bohong.”

“Hanya tertarik. Aku masih bisa menahan tubuhku sehingga tidak jatuh.”

“Hahaha sejak kapan kau sedenial ini.”

“Kau ingin aku jatuh?”

“Ayo jatuh bersama.”

“Aku tidak suka rasa sakit.”

“Aku yang akan menanggung atas rasa sakit itu.”

“Kau membuatku tampak seperti pengecut.”

“Memang benar, ‘kan? Nyatanya kau tidak bisa terang-terangan mengekspresikan perasaanmu padaku?”

“Kau hanya terlalu percaya diri.”

“Oh ya?”

“Coba saja kalau kau merasa bisa membuatku terpesona pada—”

“Ten.”

Ten mendongak, menyorotkan kedua matanya ke dua mata yang sudah menatapnya dengan tajam dari arah seberang. Entah kenapa kata-katanya ia biarkan terpotong begitu saja oleh sahutan dari laki-laki itu. Ia menyadari ada suasana yang tidak beres di sini ketika ia amati ada pergerakan dari laki-laki di depannya yang semakin mendekatkan diri padanya, menenggak salivanya, kemudian melanjutkan perkataannya, “Boleh kupinjam bibirmu?”

Ten tak juga menjawab selama beberapa detik, dan Taeyong mengartikannya sebagai sebuah perizinan. bagai orang kehausan yang tenggelam dalam dahaga, Taeyong langsung melumat bibir laki-laki itu dengan mata terpejam, menaruh kedua tangannya pada masing-masing sisi lengan pemuda itu dan mengunci tubuhnya. Ten masih terbebelalak. Dia tau apa yang akan laki-laki itu lakukan padanya, tapi, hei, dia perlu waktu untuk mencerna maksud dari laki-laki itu dan memutuskan, tapi rupanya Taeyong sudah kehilangan kesabaran.

Dan Ten sebenarnya tidak keberatan.

Perlahan tapi pasti, tekanan pada bibirnya melemas. Taeyong membuka matanya, pelan-pelan ia lepas tautan itu. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu ruas jari telunjuk. Sorot mata taeyong tampak mengintimidasi sosok di hadapannya, dan memang benar, laki-laki di hadapannya itu terbuai kekuatan hipnotis dari mata ajaibnya itu. Dan entah energi magnetik dari mana—persetan dengan itu—membuat Ten memajukan kepalanya untuk menguatkan tautan mereka kembali. Ten mengembalikan keadaan, dia ingin lebih. Taeyong pun menyambut kedatangannya kembali dengan lumatan lembutnya.

Ciuman Taeyong merupakan adiksi barunya; Ten menyukainya. Sekarang, siapa yang kausebut terlalu percaya diri, Chittapon?

[ we need sweet things and thats not always about glucose ] #day6 #bucinktober #cheekkiss #taeten


Masih pagi. Jam menunjukkan angka sembilan saat itu. Pemandangan di luar jendela bangunan bercat putih yang tengah ditempati oleh dua orang pemuda itu juga cenderung senyap, hanya sesekali terlihat beberapa orang melintas tiap sepuluh menit terlewati.

Ten duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Taeyong yang awalnya sibuk menjarah balok kulkas di ruang dapur kini muncul di hadapan Ten yang sedang fokus menonton tayangan televisi di hadapannya.

“Kita tidak punya cemilan?” Taeyong masih berdiri di sana, menunggu jawaban dari si pemilik rumah.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi, Ten menjawab, “Tidak.”

Taeyong mendengus, mengekspresikan keluhannya karena biasanya ia selalu menemukan cemilan setiap ia mampir ke rumah lelaki kesayangannya itu. “Padahal aku ingin sekali cemilan manis,” ucapnya lalu melangkah dan mendudukkan diri di samping Ten.

“Tapi kau sudah terlalu banyak memakan makanan manis dalam seminggu ini, hyung.” Ten kini menghadapkan tubuhnya ke arah sosok yang duduk di sebelahnya itu sambil menyangga kepalanya dengan tangan kiri yang tertopang kepala sofa.

“Sejak kapan kau sepeduli ini? Biasanya saja kau minum kopi sembarangan.”

“Aku tidak mau kau terkena diabetes. Pasti akan merepotkan.”

Mendengar jawaban itu, si lelaki berambut ungu memasang raut wajah yang sayu, dan menanggapinya dengan suara pelan, “Begitu?”

“Tapi aku punya solusi.” Ten berucap dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. “Ada sebuah hal yang tidak akan membuatmu diabetes meski rasanya manis.”

Taeyong mengernyitkan dahi. Dia benar-benar tidak berpikir macam-macam kali ini dan dengan polosnya bertanya, “Apa?”

“Aku!” Belum ada jeda dari pertanyaan Taeyong sebelumnya namun laki-laki ini sudah menjawabnya dengan cepat dan antusiasme yang tinggi. Well, Taeyong tidak terkejut, namun juga tidak berekspektasi hal semacam ini akan terjadi di minggu paginya kali ini.

Namun Taeyong bukan orang yang bodoh. Dia memanfaatkan situasi ini sebagai kesempatan emasnya.

“Hm, coba aku pastikan.”

Taeyong mendekatkan dirinya pada laki-laki di sampingnya, meletakkan tangan kanannya di punggung pemuda itu dan mendorongnya agar mendekat, memutus jarak yang mereka miliki sehingga bibirnya bisa semakin mudah meraih pipi si lawan bicara.

Taeyong mengecupnya lembut, tidak lebih dari tiga detik, namun perasaannya sudah seperti meroket ke antariksa. Ah, masa bodoh dengan hal itu. Toh, dia menikmati sensasinya.

Ten masih diam, sampai nyaris setengah menit pun dia tidak bergerak atau mengalihkan pandangan sedikitpun. Mungkin masih terkejut dan sedang menyusun ulang bongkahan-bongkahan akal sehatnya yang nyaris hancur oleh perlakuan sosok di sampingnya.

Namun dia sama sekali tidak keberatan atau menyesalinya.

“Sepertinya kau tidak salah.” Taeyong berusaha memecah keheningan.

Namun, lagi-lagi, dia tidak bisa mengontrol perasaannya ketika dilihatnya Ten tersenyum sambil memandangnya. Shit, kalau begini, ia pun tidak keberatan jika tuhan harus merebut cemilan selamanya dari hidupnya; asalkan ada Ten, semuanya akan aman—kesehatan fisik maupun jiwanya.

[ its 10:10 pm, what should i ask? ] #day5 #bucinktober #headpatting #taeten


“Tennie Tennie!”

Ten tak lekas menjawab sapaan dari sosok yang tengah sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Mengetahui orang yang ia panggil tak peduli, ia mengulanginya lagi, “Ten! Ke sini!”

Ten masih sibuk menatap layar handphone-nya, namun ia paksakan diri untuk berjalan menghampiri sosok yang memanggilnya itu. Ia pun akhirnya membuka mulut, “Ada apa?”

“Langitnya ramai, banyak bintang.”

Akhirnya Ten melepas pandangannya dari ponsel silvernya. Ia mengamati hal yang ditunjukkan Taeyong di luar sana, memang benar, rasanya lebih benderang dari malam-malam biasanya. Tapi mungkin juga karena Ten tidak begitu sering memandang langit malam-malam. Dia tidak suka gelap, tapi kalau begini, rasanya indah juga. Apalagi bersama orang yang spesial.

“Kamu tahu, sekarang pukul 10.05.”

“Lalu?”

“Sebentar lagi adalah waktuku untuk mengabulkan permintaan orang! Jam ten-dot-ten.”

“Hm, apa yang bisa aku pinta darimu?”

“Coba kamu pilih satu.” Ten menunjuk ke arah langit biru tua yang bertabur bintang di hadapan mereka.

Taeyong tak juga menuruti perkataan orang yang ia ajak bicara saat ini, kemudian berkata, “Aku bahkan tidak tahu standar apa yang harus aku pakai untuk memilih.”

“Asal saja, nanti akan aku ambilkan.”

“Hm, aku pilih yang ada di sini saja, deh.”

“Yang mana?”

Taeyong mengetuk pucuk kepala laki-laki di hadapannya dengan tangan kanannya, “Yang ini. Boleh kuambil?”

[ i want to take the best picture of your silhouette ] #day2 #bucinktober #holdinghand #taeten


“Sudah?”

Kau bertanya seusai aku menekan tombol di kamera yang kubidikkan lensanya pada sebuah objek yang mendunia; dirimu, yang entah sudah merangkum indahnya dunia sejak kapan, di mataku. Aku tidak serta merta memandangmu setelah selesai mendapatkan satu jepretan itu—aku melihat dengan seksama hasil yang sudah kuperoleh, lalu bergumam, “Sekali lagi, ya.”

Sudah kali ketiga aku mengatakan demikian, tapi pada akhirnya aku selalu tak menepatinya—karena entah mengapa, aku tidak pernah puas untuk mengabadikan siluetmu di balik pancaran cahaya matahari terbit pagi ini. rasanya selalu ada yang kurang, apa yang terekam dalam jepretan kamera tidak pernah setara dengan keindahan yang kulihat dengan kedua mataku secara langsung.

Selanjutnya kau berganti pose, membentuk tangan kananmu sudut empatpuluh lima derajat dengan posisi pergelangan tangan menyentuh pucuk kepala yang kau miringkan sedikit ke kanan. Kau benar-benar menunjukkan hasil dari pengalamanmu dalam pemotretan-pemotretan professional sebelum-sebelumnya. Keren, kau selalu tampak keren seperti ini.

“Sudah.” Kali ini aku yang mengatakannya. Apapun hasil yang telah kuambil, aku memutuskan ini adalah kali terakhir, karena aku takut kau bosan mendengarku mengatakan hal yang sama untuk ke empat kalinya.

Kau berlari kecil ke arahku, terlihat antusias ingin segera menilik bagaimana wujud dirimu dalam foto yang telah terambil.

“Lumayan juga. Kau mengalami perkembangan dalam menggunakan kamera ini.”

“Johnny mengajariku selama kami tour di US.”

“I see, dia juga yang dulu mengajariku untuk pertama kalinya.”

Aku tak membalas pernyataanmu, dan dalam kesenyapan itu aku merasakan sesuatu yang entah kenapa cukup mengganggu, sedikit, nyaris tak kasat rasa, namun aku tahu itu bukan sebuah ketidakadaan.

Lucu sekali jika aku berkata aku keberatan untuk mendengar nama oranglain dalam ini, tapi hei, bukannya aku yang pertama kali menyebutnya? Kau gila, Lee Taeyong, memakan ludah sendiri yang sungguh, bukan main pahitnya.

“Ten, boleh kupegang tanganmu?”

Kau menatapku cepat sebelum akhirnya aku berbalas menatapmu.

Aku memang sedang aneh, tidak biasanya aku meminta persetujuan untuk menyentuhnya, tapi kali ini entah kenapa aku ingin memastikan; apa dia selama ini keberatan?

“Kau kenapa?” Laki-laki lucu ini bertanya tanpa menjawab pertanyaanku, seperti dugaan.

“Tidak apa-apa, kan aku bertanya dulu.”

“Tapi tidak biasanya. Maksudku, bahkan kau bisa tiba-tiba saja memeluk dan-”

“Aku hanya ingin memastikan,” aku memotong perkataannya sebelum dia mengeksposnya lebih lanjut, “Kau keberatan tidak jika aku tidak mengizinkanmu untuk lepas setelah aku melakukannya?”

“Sekalipun saat aku ingin buang air besar?”

“Kalian tidak ingin sarapan?”

Mark menghancurkan obrolan kami—atau malah menyelamatkanku dari pertanyaan konyol Ten, entahlah.

“Ei, Mark. Makanan sudah siap?”

“Kalau belum untuk apa aku ke sini.”

“Okay, lets get breakfast baby.”

Mark Lee sudah berlalu sebelum Ten mengatakan hal itu. Aku spontan menengok ke arah sumber suara, “…baby?”

“Yeah, you’re my baby too.”

“Tidak terbalik?”

Ten tak menanggapi perkataanku dan tiba-tiba saja tangan kanannya sudah menggenggam tangan kiriku dengan erat. Ia tersenyum dengan menyebalkan, lalu berkata, “Jangan lepas. Tanganmu akan aman di sini.”

Rasanya ingin mengetuk kepalaku sendiri dengan palu. Bagaimana bisa aku sempat ragu terhadapnya? Justru sekarang aku yang tidak bisa berkata-kata kalau-kalau ada yang mempertanyakan situasi ini.

Walau aku suka, sih.