senja bersama deadline #halu #tenfuy #deadline
Perjanjian sudah disepakati untuk selasa mendayu kala itu. Kedua pihak dari penggagas perjanjian sama-sama selesai kelas pukul satu. Dan sepulangnya, mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama di plaza kampus yang hanya berjarak tempuh meloncati satu fakultas dari fakultas mereka. Keduanya bukan teman satu jurusan, memang—kebetulan saja sama-sama sedang hectic dengan tugas-tugas menjelang UTS yang semakin mempertebal beban pikiran.
“Mau pesen apaan, nih.” Baru saja mereka menempati salah satu meja kosong yang tersisa, si laki-laki yang kali ini menggunakan kacamata bundar itu sudah membuka dialog.
“Milkshake coklat aja ah, gue dah kenyang tadi makan di kantin.”
“Ok gue samain aja biar garibet.”
Setelah memesan, mereka mulai membuka laptop masing-masing, membentuk suasana serius yang sebenarnya nggak mereka banget, tapi apa daya, realita mengoyakoyak keduanya.
“Gua gapaham anjirrrr.” Belum apa-apa Ulya sudah mengeluh, menepuk jidatnya berulangkali dengan wajah frustasi.
“Tugas lu ngapain emang?”
“Analisis Entimen dan Silogisme. Tau, gak?”
“Coba gue liat.”
Ulya pun memutar laptop maroon nya sehingga menghadap ke arah sosok yang ada di seberang meja, membiarkan orang itu mengamati apa yang ada di layar laptopnya.
“Oh, kayaknya gue paham. Bukannya pas SMA udah pernah, ye.”
“MASA SIH, NGGAK AH.” Gadis itu menjawab dengan volume lantang, tidak terima dirinya diremehkan dengan sosok lawan bicara. Walaupun tidak dipungkiri bahwa ia pun tidak meremehkan kemampuan otak laki-laki serba bisa itu, sih.
“Contohnya gini, kan,” ucap lelaki itu sambil mengetikkan sesuatu. Ulya yang ingin tahu dengan apa yang dituliskan di sana pun beranjak dari kursinya dan duduk di sebelah si pemegang kendali laptopnya.
“Nah, premis mayornya begini. Kalo premis minor sama kesimpulan ambil aja jeplak dari kalimatnya.”
“Kadang berguna juga ya lo.”
“Kadang apaan orang tiap hembusan nafas lo selalu minta tolong gue.”
“Cakep deh lo, makasih yak.”
“Tanpa bantuin lo begini juga udah cakep, monmaap.”
“Makin cakep deh.”
“Cakap cakep emangnya muka gue pantun.”
“Cieeee Ulya ihirrrrr ….”
Sebuah sahutan di tengah obrolan mereka mengejutkan keduanya—memancing perasaan mereka untuk menengok ke arah sumber suara. Ternyata teman-teman sekelas Ulya, sialan, kenapa pula ada mereka di sana?
Gadis yang namanya terpanggil itu pun beranjak dari tempat duduknya dan menarik sekumpulan orang itu untuk menjauhi meja tempatnya berdua—eh, nugas bareng.
“Kalian mau ngapain?”
“Ngerjain tugas, lah. Masa pacaran kek lo hiyahiyaaaa.”
“Bacot.” Gadis itu memutar bola matanya, memunculkan ekspresi ‘meh’. “Gue juga di sini ngerjain tugas, kali.”
“Lah cowo lu bukannya beda jurusan.”
“SIAPA YANG COWO GUE.” Ulya menjawab dengan nada berteriak yang tertahan.
“Ya dia, lah. Sapa tuh namanya, lo gapernah cerita-cerita lagi deket sama orang anjayyy kesel gua lo dah sold out,” ucap salah satu orang yang ada di gerombolan berjumlah lima orang tersebut.
“Bukan, anjir. Dia temen gue pas ospek dan kebetulan dia nugas juga.”
“Alah paling kedok doang biar bisa berduaan sama lo!”
“Ciaaaaa.”
“Sssst udah, ah. Sana kalian jauh-jauh.”
“Gamau diganggu nih ye.”
“Semangat pacarannya, Ul.”
“Wes terserah koe ae, ncen wes angel.”
Perempuan yang kali itu memakai penjepit rambut oranye lalu membalikkan badannya dan kembali ke tempat duduknya semula.
Gosh, entah kenapa menjadi objek gosip tentang hal-hal semacam itu selalu membuatnya risih. Nggak kenapa-napa sih, masalahnya dia nggak suka sama cowo yang mereka sebut itu! Dia kan sukanya sama kak Johnny, kalau gosip itu sampe kedengeran dia gimana?
Walau tidak ada jaminan juga kalau kak Johnny mau sama dia, sih.
“Temen lo?”
Ulya mengangguk setelah mendudukkan dirinya di samping si lelaki. “Pusing banget gua sama mereka.”
“Pasti mereka ngira kalo gue cowo lu.”
“Kok tau?”
“Kan emang bener?”
Sebuah tamparan kecil berhasil mendarat dengan cepat di lengan kiri Ten yang diikuti dengan suara cekikikannya yang terdengar super menyebalkan.
Sore itu terus berlanjut dengan suasana yang tidak biasanya. Well, selama ini Ulya tidak pernah melihat sisi serius dari sosok yang sedang bersamanya itu, yang kesehariannya hanya menampilkan pesonanya sebagai bujang belegug yang selalu bertingkah konyol.
Dan gadis itu sebenarnya cukup mengaguminya, sedikit doang tapi—dan bukan kekaguman ala-ala karakter protagonis di novel romantis dan semacamnya—kegaguman itu seperti bersuara ‘this guy is annoyingly amazing and im proud to be the one who was allowed to stay by his side’.
Iya, hanya itu.