once upon a time #2 #taeten #jnt #au
taeyong menunggu si empu rumah di depan gerbang, persis seperti yang ia lakukan minggu lalu untuk tujuan yang sama—mengantar paket atas nama chittapon leechaiyapornkul. tak lama setelah ia menekan bel untuk kali kedua, seseorang menemani penantiannya. laki-laki dengan tubuh tinggi menjulang, postur tubuh yang bisa dikategorikan 'bongsor', mengenakan jaket basball hitam dengan dalaman kaos putih polos, dan topi yang dipasang di kepala dengan arah moncong terbalik. mata mereka kemudian bertemu, tak lama setelah laki-laki itu menghentikan langkah, menyisakan jarak sekitar satu meter di sebelahnya.
“siang.”
“ah, siang.”
“dari jasa antar paket, ya? mau aku titipkan sekalian saja?”
“tidak perlu, soalnya saya butuh tanda tangan penerima.”
“aku bisa mengimitasi tanda tangan ten, loh.”
ten? apakah nama panggilan orang bernama asing (dan rumit) itu sesederhana susunan dari tiga huruf itu; atau angka sepuluh dalam bahasa inggris? atau itu panggilan khusus bagi laki-laki ini saja?
berbagai pertanyaan mengisi ruang pikiran taeyong. namun ia hanya bisa membiarkan rasa penasaran itu berputar di kepala sampai meluap dengan sendirinya tanpa mendapat jawaban.
lalu, kata laki-laki ini ia bisa mengimitasi tandatangannya? sedekat itu kah dia dengan si pemilik rumah?
jangan-jangan, dia kekasihnya? entahlah, seharusnya taeyong tidak perlu mengurusi hal-hal semacam ini. toh, dia hanya seorang kurir yang numpang lewat sebentar dalam alur hidup mereka ini.
“wah, terima kasih. tapi lebih baik saya menunggu saja.”
“baiklah~”
belum lama setelah mereka merampungkan perbincangan singkat itu, si pemilik rumah muncul dari balik gerbang. kali ini dia menggunakan hoodie ungu dan celana jeans. senyuman hangatnya seketika mengalihkan perhatian taeyong, membuatnya lupa akan tujuannya ke mari, untuk beberapa saat.
senyuman itu selayaknya matahari di kutub; barangkali mencairkan kebekuan yang sempat dirasakan sosok yang telah menunggu kedatangannya itu. bagi taeyong, pemandangan semacam ini layak untuk diabadikan, disimpan di kotak memorinya yang paling dalam—ia tidak ingin seorang pun menyadari hal itu.
dia terpesona pada orang yang bahkan tidak bisa ia sebutkan nama lengkapnya.
“maaf lama, aku baru saja selesai mandi,” ucap ten, bergantian menatap dua orang yang telah menunggunya. “wah, kau lagi.” kali ini, ia menaruh perhatiannya pada si pria berseragam serba jingga yang pernah ia temui seminggu lalu.
“benar. saya kembali.” kali ini taeyong yang tersenyum. “tolong tandatangan di sini.”
ten menerima selembar kertas, menuliskan sesuatu di sana dengan pena sambil bergumam, “senang melihatmu lagi.”
sepertinya, dunia seketika melupakan eksistensi dari si pria jangkung yang saat ini tengah memperhatikan dua orang tersebut dengan perasaan kosong. dunia ini entah kenapa—untuk beberapa kali detak jantung taeyong—memberi ruang bagi mereka berdua saja. walau momen itu sangat tidak penting, bahkan sepertinya tidak pantas diukir di atas data riwayat hidup.
tapi terlalu muluk-muluk jika taeyong mengharap lebih dari ini, bukan?
“terima kasih. kalau begitu, saya pamit.”
“hati-hati di jalan~”
taeyong membungkuk, memberi salam undur diri. dalam hitungan menit, punggungnya beserta kendaraan roda dua yang ditumpanginya sudah lenyap dari pandangan dua orang yang ditinggalkannya di tempat itu.
ten tak berucap apa-apa saat ia mulai memasuki halaman rumahnya. dia membiarkan johnny mengikuti langkahnya tanpa bertingkah macam-macam, seperti sedang terfokus pada suatu hal yang tidak ada hubungannya dengan sahabat masa kecilnya itu. dan bagi johnny suh—laki-laki yang sedari tadi seperti figuran dalam peristiwa sebelumnya—ini aneh.
johnny mengenal betul laki-laki itu sedari kecil. mereka bertetangga sudah puluhan tahun lamanya. dan dia menyadari penuh bahwa ada yang berbeda dari sosok ten yang ia kenal, hari ini. ia sadar bahwa ada sesuatu yang ten sembunyikan, dan mungkin berhubungan dengan laki-laki pengantar paket itu; johnny mulai meraba-raba apa yang sekiranya tengah terjadi dalam angannya.
“kau tampak senang. paket dari siapa memangnya?” johnny akhirnya membuka obrolan setelah mereka sampai di ruang tamu.
“dari adikku. tapi bukan karena itu, kok.”
mendengar jawaban itu, johnny memilih menahan dirinya untuk bertanya lebih lanjut.
sahabatnya ini sedang jatuh cinta, rupanya?