kisah klasik di warmindo #halu #tenfuyu #warmindo
“Kamu tau gak, selama dua minggu yang terlewati dalam bulan ini tuh aku kena sial mulu.”
Perempuan yang tengah duduk menunggu pesanan nasi telor nya datang itu memasang raut wajah suram.
“Bukannya ini bulan lahir lo, ya.”
“Ya, makanya! Aneh banget sumpah,” ucap si gadis dengan tekanan nada yang menguat, “Pertama pas aku kehilangan duit 100ribu padahal udah pesen makanan di kantin, trus kemarin lupa ga ngembaliin helmnya mamang gojek, dan yang paling baru ini semalem gue salah kirim video ke dosen jirrrrr harusnya ngirim video tugas malah ngirim video gua!!” Ulya menjelaskan ceritanya menggebunggebu dan tanpa sadar telah mengganti sebutan orang pertama pelaku utama dalam ucapannya, dari ‘aku’ menjadi ‘gua’ yang biasa ia gunakan ketika ia sudah benar-benar kesal.
“Gila gila video apaan tuh.”
“Gausah mikir macem-macem. Cuma video gue nyanyi gajelas TAPI NYANYINYA TUH GUE SENGAJA FALES-FALESIN.”
“Emang dasarnya fales kali suara lu.”
Sebuah tabokan mendarat di lengan kiri si lelaki, kemudian si pelaku penabokan itu berucap, “Jangan salah fokus, deh. Intinya hidup gue sial banget akhir-akhir ini. Kenapa, sih ….”
“Nasi telor dua sama es teh dua, ya.”
Mamang-mamang burjo pun mengalihkan perhatian mereka berdua yang tadinya saling menatap kini sama-sama mengarahkan pandangan ke arah objek yang sudah mereka tunggu-tunggu sejak sepuluh menit yang lalu.
“Makasih, bang.”
Pembicaraan mereka pun terhenti begitu saja setelah tangan mereka mulai memainkan sendok dan garpu; perut mereka sudah menantikan saat-saat masuknya sumber kekuatan kebanggaan anak kos ini.
Mereka belum benar-benar menghabiskan santapannya ketika seseorang tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka—lagi—dan kali ini bukan mamang-mamang burjo, melainkan sesosok yang mereka sama-sama kenal, tapi tidak tahu bahwa ketiganya saling mengenal. Membingungkan, kan?
“Eyyyy lagi pada ngapain, neh!”
Tubuh bongsor dari si pemilik suara kemudian duduk di samping Ulya, kali ini formasi mereka menjadi : Johnny-Ulya-Ten. Ya, laki-laki itu adalah Johnny, kakak tingkat Ulya di UKM fotografi yang diikutinya.
Dan teman satu SMP Ten.
“Dah lama gaketemu, woi! Ke mana aja, lu?”
“Ga kemana-mana, lah. Fakultas kita ‘kan beda ya wajar jarang ketemu.”
“Trus lo jauh-jauh dari fakultas lo ngapain makan di sini? Abis main ke kos temen?”
“Bentar bentar, kalian saling kenal?”
Suara Ulya merusak alur pembicaraan antar lelaki itu. Ya, gimana, ya, padahal dia juga kan kenal dengan keduanya, tapi rasanya jadi seperti obat nyamuk. DAN KENAPA PULA DIA BARU TAHU KALAU KAK JOHNNY DAN SI CAUR INI SALING KENAL?
“Kami kan temen SMP.”
“Kok gaada yang cerita ….”
“Lah, mana gue tau kalo lo kenal si Johnny.” Ten menjawab dengan santai, kemudian menyeruput es teh yang sempat ia diamkan.
“Kok lo manggilnya gapake ‘kak’ sih bukannya dia kakak tingkat lo ….”
“Gak, kami sebenernya seangkatan. Ten sempet cuti sekolah setahun karena-”
“Dah dah gausah cerita-cerita. Mending lo pesen makanan deh, John.”
“Alright, gue sampe lupa hahaha.”
Ulya masih tidak mengerti dengan fakta yang baru saja ia dapatkan ini. Ten tidak pernah cerita bahwa ia mengenal kak Johnny dan dia juga tidak pernah cerita mengenai cuti sekolah—memang tidak penting juga, sih, tapi setidaknya dia ingin lebih mengenal seluk beluk laki-laki yang selama ini telah menampung curahan hatinya tanpa meminta balasan—walaupun seringnya merespon dengan menyebalkan, sih.
Johnny telah memesan nasi goreng dan es jeruk. Sayangnya sebelum pesanan itu datang, Ten dan Ulya sudah menghabiskan makanan mereka. Keduanya pun memanggil abang pemilik burjo untuk membayar makanan masing-masing.
“Kami duluan ya, John.”
“Duluan ya, Kak.”
“Idih kak-kek-kak-kek, sok imut.”
“Apaan sih cari masalah banget lu.”
“Kalian akrab, ya.”
“Iyala—” “NGGAK!!!!”
Jawaban yang tidak sinkron di antara keduanya membuat si lelaki berparas jangkung itu terkikik pelan.
“Ok hati-hati kalian pulangnya.”
“Siappp.”
Ten dan Ulya berlalu, menjemput sepeda motor milik Ten yang tengah terjaga di depan warung berstatus ‘Warmindo’ yang posisinya di seberang gerbang Fakultas mereka. Selagi Ten mengulurkan helm kepada si perempuan yang berdiri di belakangnya, perempuan itu membuka suara.
“Aku masih kaget kamu kenal dia.” Mode formal gadis itu pun kembali merasuki tata ucapannya.
“Emang kenapa? Lo naksir?”
“Iya.”
“Anjing.”
Mereka berdua terdiam sebentar, sampai pada akhirnya satu per satu menaiki tunggangan kendaraan roda dua di hadapan mereka.
Dalam perjalanan, mereka masih belum juga melanjutkan kembali pembicaraannya—sampai suatu saat si pihak perempuan memutuskan untuk menyambungkan ujungnya yang sempat putus.
“Kaget, ya?”
“Selama ini lo curhat ke gue tapi gapernah cerita tentang dia sama sekali, so, pikir sendiri.”
Sebelum sampai di depan kosnya, Ulya berusaha menjelaskan apa yang baru saja dikatakannya dengan terbuka. Ten tidak menyahut dengan kata apapun, dia terus mendengarkan cicitan dari gadis itu sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyahut.
“Udah, ah. Gapenting juga lo nyeritain dia ke gue.”
“Tadi lo sendiri yang minta!”
“Gue bilang lo gapernah nyeritain dia ke gue, bukan minta lo nyeritain dia ke gue.”
“Sama aja!”
“Kok kesialan lu sekarang nular ke gue, sih.”
“Sial apanya! Kalo lo emang gamau dengerin yaudah gue gabakal cerita lagi. Jangan anggap sial juga do—”
“Hash, bukan itu.”
“Trus apa? Sial karena gue naksir temen lo?”
Tidak ada jawaban dari si pengendara. Tapi bukan berarti gadis itu membiarkan obrolannya terputus begitu saja. Dia masih ingin berbicara lebih.
“Lo juga ga cerita lo pernah cuti sekolah. Lo kenapa?”
“Gapenting.”
“KOK NGAMBEK SIH. Lagian gue tau diri dan ga beneran naksir yang sampe segitunya, kok. Dia kan banyak yang suka.”
“Tuh tau.”
“Asu. ” Kata tersebut mengakhiri perjalanan mereka karena tepat setelahnya, motor yang mereka tunggangi tengah berhenti di depan bangunan bercat jingga.