fremilt dan malam minggu #halu #tenfuyu #fremilt
“pgn fremilt....😭😭😭”
Begitulah tulisan yang terpapar di layar ponsel Ten ketika ia mengamati deretan snap Whatsapp dari teman-temannya. Untuk kali ini mungkin bukan temannya; sahabatnya, atau frenemy, atau apalah itu dinamakan pokoknya mereka sebetulnya tidak begitu akrab, namun bukan juga tidak akrab. Duh, ribet emang kek orang-orangnya!
Segera ia ketikkan beberapa kata untuk membalas snap WA bermuatan curhat itu : “di deket rumah gua ada tuh”
Tak lama, balasanpun datang. Seperti biasanya, gadis itu memang selalu membalas pesan dengan cepat karena kesehariannya yang gabut dan sebagian besar dihabiskan di depan layar HP. “EH BENER TUH titip beliin dong,,,,, 🤤”
Hadeh,,,,,,,,,,Ten menghela nafas, padahal niatnya membalas begitu supaya si pencurhat datang main ke rumahnya sekalian membeli minuman khas dari negaranya itu, eh, malah dia terjebak dan dianggap sebagai driver gojek.
“Yeeee belilah sendiri! Emang gua mamang gofut!!”
“Klo pake gofut mahal banget cui aslinya 10ribu di gofut jd 13ribu mana pake ongkir lg”
“Ya lo ke sini aja, sekalian main ke rumah.”
Itu dia yang ingin ia sampaikan dari awal, akhirnya keluar juga.
Dan jawaban dari si lawan chatting adalah ......... : “gw gada motor lu mikir gaksi klo pake gojek sama aja gw boros kan niatnya mau irit”
Dasar anak kos nyusahin!!
Ten lagi-lagi menghela nafas. Memang selalu begini jadinya ketika dia membalas snap WA dari orang satu ini, SELALU BERUJUNG RIBET. Sudah tau begitu dia tidak juga kapok dan masih melakukan hal yang sama walaupun sudah tau resikonya. Dia pun tidak mengerti, rasanya dia sudah dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.
“Yaudah gua anterin dah, tapi syaratnya lo harus nemenin gua ke plaza, bentar”
“Ngapain gw ke plaza kan td gw bilang pen irit”
“Siapa juga yang minta lo hedon di sana kan gua mintanya cums nemenin”
“Aaaaaaaa ribet bgt ye”
“Lo nya aja yang gamau susah-susah makanya ribet!!!”
Sudah habis emosinya sampai dia mengetikkan tanda seru beberapa kali yang menandakan bahwa dia benar-benar tidak tahan menangani manusia satu ini.
“Iya deh iya, gw pesen fremilt yang cocoa ya”
“Ok gua otw, lo langsung stay depan kos biar langsung gas”
“Gamau”
“Oh jadi gua perlu masuk ke kamar kos lu sekalian nih?”
“IHhhh IYA IYA BAWEL”
Saat itu pukul setengah delapan malam, dan gadis itu baru menyadari bahwa malam ini adalah malam yang astral bagi sebagian kaum.
Malam minggu. Hei, bukannya gimana-gimana, ya, cuma .... malam minggu itu kan rame!! Ih kok dia tadi main iya-iya aja, sih?!?!? Kalo di plaza ketemu kak Johnny gimana?
Ulya membenturkan kepalanya ke dinding di sebelahnya, sudah seperti ritual rutin memang bertindak sebelum menyesal jadi dinding kamar pun sudah hafal dan bersahabat dengan bentuk kepalanya.
Sekitar duapuluh menit setelah obrolan mereka lewat chat terputus, Ten akhirnya tampak di pandangannya dengan motor beat hitamnya—yang tengah membonceng seorang perempuan berambut panjang dengan jaket merah muda. Hei, dia tadi tidak bilang kalau kasusnya akan cenglu, ya!! Apa-apaan ini!
Selagi Ulya terus bergemuruh dalam hati, Ten akhirnya membuka kaca helmnya, kemudian bersuara, “Sori, ya, kayaknya gajadi deh rencana yang tadi, gua lupa harus kumpul organisasi.”
Gadis yang masih menunggu pesanannya diterima itu pun langsung mengerti bahwa perempuan yang membonceng itu salah satu rekan organisasinya. Tapi siapa peduli!!
Ten menjeda perkataannya selagi mengambil sesuatu yang digantungkan di bawah kepala motornya, “Nih. 10ribu plus ongkir 5ribu.”
“IH!! YANG IKHLAS DONG!!”
“Hahahhaha” Tawa renyahnya membuncah menghancurkan suasana canggung mereka, dan perempuan yang ada di belakangnya masih belum buka suara.
“Yadah, nih, 10ribu aja. Baik kan gua.”
“Kalo baik ngapain lo-”
“Udah diem, sini duitnya. Cepet masuk kos. Dah malem.”
Entah kenapa ada rasa tidak nyaman mendengar kalimat itu—sekaligus senang akhirnya dia bisa membeli minuman kesukaannya itu tanpa gofut. Yah, sudahlah, apapun rasa tidak nyaman itu dia yakin pasti akan segera pudar seiring dengan menghilangnya wajah laki-laki ini dari hadapannya.
“Nih. Makasih, ya.”
“Sama-sama. Gua berangkat dulu, ya.”
“Hati-hati.”
“Mana?”
“Apanya?”
“Katanya hati? Hati gua ketinggalan di elu?”
APAAN SIH MALU-MALUIN
Ulya benar-benar tidak habis pikir, dilihatnya sosok perempuan yang ada di sana mengamati mereka—tampak sedang menahan tawa. Ia paham, suasana ini begitu cringe dan memalukan untuk dialami—bahkan sekedar diamati oleh sebagian besar orang (kecuali para penggila film Dilan yang mungkin akan beranggapan lain). Dan ia harap orang yang menciptakan suasana ini segera enyah dari hadapannya.
“Apaan sih udah ah sana pergi.”
“Okok, bye loser.”
“Bye babi.”
Dua orang yang berboncengan itu pun berlalu seketika, semakin lama bayangan dari punggung sepeda motornya semakin mengecil, kemudian lenyap termakan belokan yang berada sekitar limapuluh meter dari tempatnya menepi sebelumnya.
Aneh, rasanya dia jadi tidak benar-benar ingin fremilt yang tengah dipegangnya ini. Entah kenapa ada perasaan kesal yang bercabang; kesal karena Ten mengatakan hal yang tidak-tidak di hadapan rekannya, dan kesal karena Ten membatalkan rencana ke plaza, padahal dia sudah berpenampilan rapi.
Atau sebenarnya kesal karena ada perempuan lain di antara mereka yang membuat kebersamaan mereka menjadi lebih terbatas?
Hah, memangnya kalau Ten datang sendirian kau mau apa, Ulya?
Gadis itu pun memasuki kamar kosnya, diminumnya fremilt yang sedari tadi sudah ia genggam, kemudian ia meraih HP yang tadi ia tinggalkan di kasurnya.
Ia mengetikkan sesuatu di layar yang berlatarkan ungu tua polos,
“fremiltnya gaenak.”
Di sisi lain, dua orang yang tengah berada dalam perjalanan mereka menuju PKM memperbincangkan si perempuan yang telah tertinggal di belakang itu.
“Pacar lu, ye?”
“Bukan.”
“Iya juga sih mana ada orang pacaran ribut kek tadi.”
“Ada, lah, bentar lagi.”