once upon a time #1 #taeten #jjnt #au
taeyong mengamati bangunan bercat putih di depannya, mencari-cari simbol yang menjadi tanda identitas bangunan tersebut demi memastikan apakah ia tengah berada di tempat yang tepat atau tidak. seharusnya, rumah tersebut memiliki nomor '10-F' jika dihitung dari rumah-rumah yang ia lewati sebelumnya. dan beruntungnya taeyong tidak salah menduga; ditemukanlah tulisan dengan nomor tersebut di dinding sebelah barat yang terhubung dengan pagar baja setinggi dua meter.
usai memastikan, ia langsung menekan tombol bel yang tak jauh dari tanda nomor rumah tersebut. sekali saja tidak mempan, seperti rumah-rumah yang ia kunjungi sebelumnya. ia pun menekannya lagi, sampai untuk kali ketiga, terdengarlah suara kaki menapak tanah, yang lama-lama semakin teraih oleh daun telinga. dan terbukalah pagar hitam itu, menyambut penampakan dari (yang taeyong duga) si pemilik rumah.
laki-laki dengan tinggi badan yang lebih pendek beberapa senti dari taeyong, mengenakan kaos ungu pastel dan celana navy selutut—ia menyipitkan matanya kala terpapar sinar matahari yang menembus pembatas antara jalanan dengan rumahnya, yang tak bisa dianggap sederhana bagi orang biasa—apalagi taeyong.
“maaf lama, tadi sedang tidur.”
“ah, maaf telah mengganggu tidur anda.”
“tak masalah.”
“dengan ... chitta...chit-ta-pon lee....”
“ahahaha cukup, cukup, iya itu aku.”
“maaf, saya tak terbiasa membaca nama asing.” taeyong tampak tersipu dengan perbuatannya barusan. “silakan tanda tangan di sini.”
laki-laki itu pun menandatangani selembar kertas yang disajikan kepadanya, kemudian menerima paket yang berbentuk balok dari tangan sang kurir.
“sepertinya, kau kurir baru, ya?”
taeyong sudah bersiap untuk melangkah menuju titik ia memarkirkan sepeda motornya, namun laki-laki di hadapannya memberinya sedikit bahan obrolan sebelum ia sempat merealisasikan niatnya tersebut.
“benar. kelihatan sekali, ya?”
“aku sering menerima kiriman paket dari jnt, dan aku baru pertama kali melihatmu.”
“sesering itu sampai hafal?”
“iya, aku suka berbelanja online.”
obrolan ini cukup ngelantur, batin taeyong. apakah memang sudah menjadi hal yang normal para penerima paket membicarakan urusan-urusan pribadinya dengan kurir? apa memang kebiasaan si chittapon-apalah ini saja?
“kalau begitu, saya pamit dulu.”
“ah iya, masih banyak paket yang harus kauantar, ya? semangat.”
taeyong hanya membalas kata-kata tersebut dengan senyum canggungnya. ya ... bagaimana tidak canggung, selama satu minggu ia bekerja menjadi pengantar paket, baru kali ini dia diberi ucapan semangat dari penerima paket. demi tuhan, baginya ini adalah sesuatu yang tidak biasa.
setelah menaiki motornya dan memakai helm, taeyong berlalu, melaju ke arah yang berlawanan dari arahnya datang. dan sosok chittapon leechaiyapornkul itu masih berdiri di depan gerbang rumahnya, masih memegang paket yang baru saja ia terima dari seseorang yang telah menarik perhatiannya.