[ we need sweet things and thats not always about glucose ] #day6 #bucinktober #cheekkiss #taeten
Masih pagi. Jam menunjukkan angka sembilan saat itu. Pemandangan di luar jendela bangunan bercat putih yang tengah ditempati oleh dua orang pemuda itu juga cenderung senyap, hanya sesekali terlihat beberapa orang melintas tiap sepuluh menit terlewati.
Ten duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Taeyong yang awalnya sibuk menjarah balok kulkas di ruang dapur kini muncul di hadapan Ten yang sedang fokus menonton tayangan televisi di hadapannya.
“Kita tidak punya cemilan?” Taeyong masih berdiri di sana, menunggu jawaban dari si pemilik rumah.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi, Ten menjawab, “Tidak.”
Taeyong mendengus, mengekspresikan keluhannya karena biasanya ia selalu menemukan cemilan setiap ia mampir ke rumah lelaki kesayangannya itu. “Padahal aku ingin sekali cemilan manis,” ucapnya lalu melangkah dan mendudukkan diri di samping Ten.
“Tapi kau sudah terlalu banyak memakan makanan manis dalam seminggu ini, hyung.” Ten kini menghadapkan tubuhnya ke arah sosok yang duduk di sebelahnya itu sambil menyangga kepalanya dengan tangan kiri yang tertopang kepala sofa.
“Sejak kapan kau sepeduli ini? Biasanya saja kau minum kopi sembarangan.”
“Aku tidak mau kau terkena diabetes. Pasti akan merepotkan.”
Mendengar jawaban itu, si lelaki berambut ungu memasang raut wajah yang sayu, dan menanggapinya dengan suara pelan, “Begitu?”
“Tapi aku punya solusi.” Ten berucap dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. “Ada sebuah hal yang tidak akan membuatmu diabetes meski rasanya manis.”
Taeyong mengernyitkan dahi. Dia benar-benar tidak berpikir macam-macam kali ini dan dengan polosnya bertanya, “Apa?”
“Aku!” Belum ada jeda dari pertanyaan Taeyong sebelumnya namun laki-laki ini sudah menjawabnya dengan cepat dan antusiasme yang tinggi. Well, Taeyong tidak terkejut, namun juga tidak berekspektasi hal semacam ini akan terjadi di minggu paginya kali ini.
Namun Taeyong bukan orang yang bodoh. Dia memanfaatkan situasi ini sebagai kesempatan emasnya.
“Hm, coba aku pastikan.”
Taeyong mendekatkan dirinya pada laki-laki di sampingnya, meletakkan tangan kanannya di punggung pemuda itu dan mendorongnya agar mendekat, memutus jarak yang mereka miliki sehingga bibirnya bisa semakin mudah meraih pipi si lawan bicara.
Taeyong mengecupnya lembut, tidak lebih dari tiga detik, namun perasaannya sudah seperti meroket ke antariksa. Ah, masa bodoh dengan hal itu. Toh, dia menikmati sensasinya.
Ten masih diam, sampai nyaris setengah menit pun dia tidak bergerak atau mengalihkan pandangan sedikitpun. Mungkin masih terkejut dan sedang menyusun ulang bongkahan-bongkahan akal sehatnya yang nyaris hancur oleh perlakuan sosok di sampingnya.
Namun dia sama sekali tidak keberatan atau menyesalinya.
“Sepertinya kau tidak salah.” Taeyong berusaha memecah keheningan.
Namun, lagi-lagi, dia tidak bisa mengontrol perasaannya ketika dilihatnya Ten tersenyum sambil memandangnya. Shit, kalau begini, ia pun tidak keberatan jika tuhan harus merebut cemilan selamanya dari hidupnya; asalkan ada Ten, semuanya akan aman—kesehatan fisik maupun jiwanya.